29 Maret, 2011

SEKITAR ETIKA POLITIK KRISTIANI

Franz Magnis – Suseno, SJ :
(Telah dikembangkan dalam RR Dasa edisi Maret 2011)

Pengantar

Sekitar etika politik Kristiani ini :

1. Membahas prinsip dasar sikap Kristiani terhadap negara.

2. Menunjukkan bahwa atas dasar kesatuan pandangan dasar itu terdapat pluralitas opsi kebijakan publik bagi orang Kristiani.

3. Menterjemahkan semangat Injil dalam kehidupan berbangsa ke dalam tujuh prinsip etika politik Kristiani.

4. Menambah catatan tentang sikap Kristiani terhdap idiologi negara, untuk

5. Menunjuk pada hal- hal yang paling mendesak sekarang

I. KAISAR dan ALLAH

1. Untuk menemukan prinsip dasar sikap Kristiani tentang negara, kita dapat bertolak dari apa yang dikatakan Yesus sendiri : ”Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” (Mt. 22: 21). Apa yang mau dikatakan Yesus di sini? Tidak jarang kata Yesus ini diartikan seakan - akan Yesus bicara tentang perpisahan antara agama dan negara. Padahal masalah agama tidak disinggung di sini. Yang mau dikatakan Yesus adalah lain. Pertama Ia mengatakan : Berikan kepada Kaisar apa yang memang menjadi haknya. Dimana Kaisar sama dengan negara. Yesus mengaku bahwa negara mempunyai hak - hak dan para pengikut Yesus harus memenuhi hak - hak negara tersebut. Kiranya hal ini dapat juga diperluas. Yesus mau mengatakan bahwa di dunia adalah pelbagai pihak misalnya orang tua, atasan di tempat kerja, guru dan pemerintah. Semua mempunyai wewenang masing - masing ( yang diuraikan lebih lanjut oleh Yesus) dan manusia, termsuk para pengikut Yesus, wajib taat pada wewenang mereka itu.

2. Dalam nada yang sama Santo Paulus menegaskan, bahwa ”tiap - tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak bersal dari Allah” (Roma 13:1). Begitu pula kita membaca dalam surat pertama Petrus, bahwa kita hendaknya tunduk pada lembaga manusia (1 Ptrs.2:13 dsl)

3. Karena itu Gereja monolak ajaran beberapa pihak Kristiani ekstrem bahwa orang Kristiani, karena dibimbing oleh Roh Kudus, tidak perlu taat kepada lembaga - lembaga manusia. Orang Kristen wajib tunduk kepada hukum dan wewenang negara.

4. Tetapi wejangan Yesus baru kita mengerti betul apabila kita juga memperhatikan juga kalimat yang kedua ”Dan berikan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah!” Nah, Yesus tidak mengatakan bahwa disamping hak negara , Allah juga mempunyai satu dua hak. Melainkan agar kita hendaknya jangan lupa, bahwa hak (orang tua dan atasan ) negara semua itu akhirnya adalah hak Allah. Karena (orang tua dan atasan) kaisar menerima wewenang mereka dari Allah. Segala kewajiban didunia hanya wajib sejauh sesuai dengan kewajiban paling dasar yang ada pada manusia : taat kepada ALLAH! Hal itu dirumuskan dengan paling jelas oleh Petrus dan para rasul lainnya pada waktu Mahkamah Agung Yahudi di Yerusalem mau melarang mereka jangan mengajar dalam nama Yesus : ”Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis 5: 29). Maka kewajiban untuk taat kepada penguasa dunia apa pun bersyarat: kita wajib taat kepada Kaisar, tetapi apabila Kaisar memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan hak Allah, kita harus menolak.

5. Taat kepada hak Allah berarti apa? Adalah tugas Gereja untuk, dalam cahaya bimbingan Roh Kudus , membaca merenungi Injil/ Kitab Suci dan menjelaskan kehendak-kehendak Allah. Atau secara singkat : Allah menghendaki agar kita melakukan apa yang adil dan benar.

6. Sekarang kita dapat merumuskan dengan lebih persis sikap umat Kristiani tehadap Negara. Umat Kristiani selalu mengakui dan taat pada wewenang negara, umat Kristiani bersikap positif dan setia pada pemerintahnya, dan bahkan bahkan apabila ia dirugikan, ditekan atau ditindas ia tidak memberontak. Akan tetapi apabila negara memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, umat Kristiani harus menolak. Dan memilih dirugikan dan bahkan bersedia mati, demi keadilan dan kebearan. Dalam hal ini kita berpegang pada sabda Yesus : ”Seorang hamba tidklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka akan menganiaya kamu ... kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku” (Yoh. 15: 19 ; 16: 2). Kesediaan untuk menjadi martir, untuk mati demi iman kita, termasuk panggilan kita sebagai orang Kristiani.

II. Pluralitas Opsi – Kesatuan Pandangan Dasar

1. Sesudah kita melihat sikap dasar Kristiani terhadap kekuatan-kekuatan di dunia, mari kita sekarang melihat dengan lebih terinci wewenang dan batas wewenang Gereja dalam bidang pembangunan politik. Bertolak dari perspektif Gereja Katolik yang tidak mesti sama dengan perspektif Protestan karena bagi Gereja Katolik, dibandingkan dengan Gereja Protestan yang khas itu wwenang besar pusat. Namun pada hakekatnya catatan ini juga berguna bagi kalangan di luar Katolik.

2. Kita bertolak dari kesadaran dasar, bahwa umat Kristiani tidak diutus hanya untuk mengupayakan keselamatannya sendiri. Melainkan kita diutus melanjutkan karya keselamatan Kristus di dunia. Kita diutus menjadi saksi Kristus dalam masyarakat. Kita dijadikan garam dalam masyarakat dalam masyarakat. Oleh karena itu, umat Kristiani memang wajib berpartisipasi dalam semua dimensi kehidupan masyarakat, sesuai denga kemampuan dan kesempatan mengKristianikan kehidupan politik. Bagi orang-orang Katolik, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kembali sikap Gereja : Tidak ada ”model - model pembangunan Katolik”, jadi tidak ada ”negara khas Katolik”, ”ekonomi khas Katolik”, maupun ”masyarakat Khas Katolik”.

3. Kita harus membedakan wewenang Gereja sendiri dan wewenang anggota - anggotanya. Gereja sendiri memaklumkan prinsip-prinsip Kristiani ke dalam semua bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Tetapi Gereja tidak ikut menentukan kebijakan politik praktis. Sedangkan politisi Kristiani terlibat dalam politik praktis, dalam semangat Injil, tetapi bukan atas nama Gereja, melainkan atas dasar tanggung jawab dan suara hati mereka sebagai orang Kristiani dan warga negara.

4. Bagi umat Katolik, Gereja tidak boleh mau menentukan sikap-sikap mana yang diambil para politisi Katolik. Konsili Vatikan II menulis dengan tegas ”Masyarakat politik dan Gereja, di bidangnya masing-masing, tidak bergantung satu sama lain dan otonom. Akan tetapi keduanya meskipun berdasarkan alasan yang berbeda beda melayani panggilan pribadi dan sosial manusia yang sama” (GS no. 76). Dalam tulisan ini diakui bahwa tujuan usaha negara dan dan Gereja adalah sama, yaitu manusia. Akan tetapi dalam menjalankan tugas mereka itu negara dan Gereja saling otonom. Gereja tidak berhak untuk mengatakan kepada negara apa yang harus dilakukannya, dan negara tidak boleh mencampuri kehidupan Gereja.

5. Hal itu mempunyai implikasi bagi partisipasi orang Katolik dalam kehidupan bernegara. Di satu pihak, dalam berpolitik orang Katolik tidak berada dibawah wewenang pimpinan Gereja.Uskup dan Sri Paus pun tidak dapat memerintahkan kepadanya apa yang harus dilakukannya. Orang Katolik sendiri, berdasarkan suara hatinya sebagai orang Katolik, harus menentukan sikapnya. Akan tetapi di lain pihak, suara hati politisi Katolik harus dididik supaya sesuai dengan pandangan dasar politik Gereja. Dalam menentukan sikapnya, ia harus berorientasi pada prinsip - prinsip etika politik Kristiani di bawah ini.

6. Maka diantara orang Kristiani boleh saja ada perbedaan opsi (harapan) dan pendapat politik. Apakah ingin membikin partai politik sendiri atau mengikuti partai yang orientasinya dapat dipertanggungjawabkannya, boleh ditentukan sendiri. Sebagai orang Kristiani, kita bisa saja mempunyai pandangan politik berbeda, tetapi pandangan dasar harus sama. Dengan demikian boleh saja ada pluralitas opsi, namun untuk keselamatan dan kemajuan bangsa.

III. Tujuh Prinsip Etika Injili dalam Kehidupan Berbangsa

1. Apa yang dimaksud dengan semangat Injili? Kita dapat mengatakan, bahwa semangat Injil terdiri atas sikap tiga sikap dasar : Semangat cinta kasih, Hormat terhadap martabat manusia (setiap orang sebagai anak tercinta Allah) dan Solidaritas dengan orang - orang miskin dan lemah. Semangat Injili dalam tiga arah perwujudan ini mengikat politisi Kristiani. Maka politisi Kristiani tidak memberikan ruang kepada kebencian dan balas dendam. Ia tidak pernah memperalat orang lain. Ia menolak pembangunan yang dibayar dengan mengorbankan orang-orang kecil, penduduk lokal, perempuan dan lain - lain. Dan ia berada di pihak orang-orang kecil, ikut membela hak - hak mereka, ikut memperjuangkan kepentingan mereka, menuntut agar mereka diberikan perhatian khusus. Tiga semangat itulah ciri pengikut Kristus dalam kehidupan sosial politik semua bangsa dimana ada umat Kristiani.

2. Yang penting adalah bagaimana menerjemahkan semagat Injil itu kedalam bahasa politik. Orang Kristiani ikut dalam kehidupan politik, tidak berarti bahwa mereka selalu sependapat. Bisa saja orang Katolik menganut kebijakan politik yang berbeda. Tidak ada monopoli kebijakan politik. Maka perbedaan pandangan politik dalam umat Kristiani wajar-wajar saja. Akan tetapi dimana kita tidak boleh berbeda adalah dalam semangat Injili tadi. Dalam ajaran Gereja sekarang ini, semangat Injili dikonkretkan dalam beberapa prinsip-prinsip etika Kristiani. Maka perbedaan dalam kebijakan konkret diantara orang Kristiani harus tetap berdasarkan cita-cita dasar yang sama dan perjuangan mereka tetp atas dasar landasan prinsip-prinsip itu.

3. Manakah prinsip-prinsip itu? Tidak ada prinsip-prinsip yang sama sekali baku. Namun tujuh prinsip berikut sekurang-kurangnya dalam Gereja Katolik dianggap paling dasar dalam segala perjuangan politik.

1) Prinsip kebaikan hati. Sikap baik hati terhadap siapapun, kawan maupun lawan, adalah tuntutan dasar Yesus pada para pengikutnya. Begitu pula tujuan segala pembangunan adalah keadilan, kebahagiaan, kebebasan dan perdamaian bersama bertambah. Dalam kehidupan politikpun orang Kristiani akan menunjukkan kesediaan untuk memaafkan, berdamai, untuk menghormati lawan.

2) Berpihak pada kehidupan. Orang Kristiani tidak memakai kematian sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuannya. Karena itu, orang Kristiani menolak abortus dan pembunuhan janin demi tujuan penelitian. Demikian pula orang Kristiani menolak pembunuhan – pengrusakan demi mencapai tujuan pemenangan politisnya.

3) Prinsip paling umum Ajaran Sosial Gereja adalah prinsip Kesejahteraan Umum (bonum commune). Yang dimaksud adalah, negarawan dan politisi, baik di level nasional maupun lokal, ditugasi untuk mengusahakan kepentingan umum dan bukan kelompok/ diri sendiri. Negarapun bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan diciptakan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Negara adalah untuk manusia, bukan manusia untuk negara. Maka politisi Kristiani akan selalu mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi juga dari pada kepentingan golongannya atau kepentingan partainya. Dalam prinsip itu langsung terimplikasi, bahwa politisi Kristiani tidak ikut korupsi (waktu, uang, tenaga). Politisi Kristiani berpolitik demi kesejahteraan masyarakat dan tidak memakai kesempatan, yang barangkali ada, untuk secara sah memperkaya diri.

4) Prinsip Subsidiaritas. Prinsip ini mengatakan, bahwa lembaga lebih tinggi wajib membantu lembaga-lembaga lebih rendah, pabila mereka tidak dapat sendiri menyelesaikan keperluan - keperluan mereka. Dan dari sudut terbalik, tugas - tugas yang dapat diselesaikan memuaskan oleh lembaga - lembaga lebih rendah, tidak boleh diambil alih oleh lembaga lebih tinggi. Prinsip itulah yang menjadi latar belakang ”Otonomi Daerh”. Apa yang dapat dikerjakan Propinsi, jangan ditarik ke Pusat oleh Pemerintah Nasional. Dan apa yang dapat diselsaikan di tingkat kelurahan, bukan urusan Bupati.

5) Prinsip Solidaritas. Prinsip ini menegaskan, bahwa dalam pembangunan semua harus sama beruntung dan sama berkurban, senasib sepenanggungan. Solidaritas berarti, bahwa yang lemah, miskin dan tak berdaya harus didahulukan (preferential option for the poor). Solidaritas bangsa kelihatan dalam bagaimana bangsa itu memperlakukan anggota-anggotanya yang ”kurang berarti”. Prinsip solidaritas juga memuat tuntutan, bahwa perwujudan keadilan sosial menjadi tujuan pertama pembangunan. Dewasa ini solidaritas harus menjangkau juga generasi-generasi yang akan datang. Oleh karena itu manusia wajib menjaga keutuhan lingkungan hidup agar generasi-generasi mendatang menemukan bumi yang masih pantas dihuni.

6) Menjunjung tinggi martabat manusia, yang diciptakan menurut citra Allah dan dipanggil menjadi anak Nya yang tercinta, menjadi nyata dalam prinsip hormat terhadap hak asasi manusia. Gereja Katolik misalnya secara resmi mengakui hak asasi manusia sebagai terjemahan sikap yang mau menghormati martabat manusia ke dalam kenyataan kehidupan sosial politik. Maka politisi, dan tentu segenap umat Katolik, membela hak-hak dasar manusia. Begitu pula umat Kristen, hendaknya mendukung hak dan kewajiban masyaraat untuk ikut menentukan nasib bangsa, atau dengan kata lain perwujudan kehidupan yang demokratis. Terutama hak-hak asasi manusia inti tidak pernah boleh kita langgar dan tidak pernah boleh kita biarkan pelanggaran terjadi. Disitu termasuk larangan terhadap pembunuhan sewenang - wenang, terhadap penggunaan sistematik penyiksaan (torture), baik fisik maupun psikis, terhadap hukuman kejam dan bengis, terhdap segenap pengekangan kebebasan beragama dan berkepercayaan menurut iman atau keyakinannya, terhadap penangkapan sewenang-wenang, perbudakan, perdagangan orang (wanita, anak dibawah umur), pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, penghancuran basis penghidupan para penduduk dalam wilayah yang ada masalah keamanan, terhadap penindasan berbentuk ganosid, pemerkosaan hak minoritas-minoritas etnik, agama atau budaya atas budaya, bahasa, agama dan atas otonomi terbatas berdasarkan adat istiadat.

7) Prinsip penolakan kekerasan. Dalam mengusahakan sasaran - sasaran, termasuk yang baik, kita tidak memakai kekerasan. Masalah-masalah dan konflik-konflik yang muncul wajib dipecahkan secara damai. Pemakaian ancaman, pemerasan dan paksaan untuk mencapai tujuan – tujuan pembangunan harus ditolak.

IV. Umat Kristiani, Idiologi Negara dan Pancasila

1. Kelihatanlah bahwa etika politik Gereja Kristiani bersifat inklusif (terbuka). Para warga sebangsa yang bukan kristiani tidak perlu mengalami kesulitan dengannya. Etika politik Gereja sedikitpun tidak mengancam identitas religius golongan - golongan beragama lain. Ia tidak bersifat eksklusif. Etik politik Gereja dikembangkan dalam cahaya ajaran Yesus Kristus tentang cinta kasih, akan tetapi dikembangkan dari kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasarnya adalah kemanusiaan kita, bukan ke Kristianian kita. Apabila patokan - patokan etika politik tadi terlaksana, segenap manusia dapat hidup dengan agama, kepercayaan, keyakinan - keyakinan, nilai-nilai dan cita - citanya sendiri. Itulah sebabnya etika politik Kristiani bukan sebuah ideologi.

2. Akan tetapi etika politik Gereja jelas merupakan kriteria untuk menilai ideologi - ideologi lain. Orang Kristiani hanya dapat menerima sebuah ajaran politik, apabila semua ketujuh prinsip etika politik Kristiani tidak disangkal olehnya. Karena itu, tidak semua ideologi negara dapat diterima oleh semua orang Kristiani. Dapat dikatakan, bahwa sebuah ideologi negara sekurang-kurangnya harus menjamin tiga hal berikut :

1) Bahwa martabat segenap anggota masyarakat sebagai manusia, dan itu berrti: hormat terhadap hak - hak asasi manusia, terjamin.

2) Bahwa segala bentuk ketidak adilan sosial sungguh-sungguh mau ditiadakan.

3) Bahwa kebebasan beragama bukan hanya untuk umat Kristiani, melainkan juga untuk segenap umat beragama dan berkepercayaan dijamin sepenuhnya.

Oleh karena itu ideologi-ideologi seperti rasisme dan apartheid, kolektivisme, pendewaan negara, militerisme, chauvinisme, fasisme dan komunisme tidak dapat kita terima.

3. Di lain pihak, justru karena kita orang Kristiani tidak mempunyai ideologi negara tersendiri, kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat mendasarkan diri pada filsafat atau etika politik resmi (pada ”ideologi negara” dalam arti ”ideologi terbuka”) yang dianut oleh negara masing-masing. Asal saja tiga tuntutan minimum tadi tidak tertutup. Maka umat Kristiani tidak memerlukan landasan bernegara lain daripada yang menjadi landasan seluruh bangsanya. Karena itu, umat Kristiani Indonesia sejak tahun 1945 mendasarkan diri pada Pancasila dalam keikutsertaannya dalam kehidupan bangsa. Prinsip-prinsip Pancasila seluruhnya sesuai dengan martabat manusia dan tuntutan keadilan sosial serta justru dirumuskn untuk menjamin kebebasan beragama.

4. Melalui Pancasila bangsa Indonesia telah menyatakan tekadnya bahwa di dalam tubuhnya tidak ada golongan kelas satu dan kelas dua,tidak ada mayoritas atau minoritas, bahwa semua dapat hidup menurut identitas dan cita-cita luhur masing-masing. Pancasila menetapkan bahwa baik golongan kecil maupun golongan besar sama saja, dijamin haknya untuk beribadat dan hidup menurut agama dan kepercayaannya. Dengan demikian terjamin , bahwa segenap anggota masyarakat, segenap kelompok dan golongan etnis, budaya dan agama, dapat merasa dirumahnya sendiri dalam persatuannya dalam negara Indonesia.

V. Yang Paling Mendesak

1. Sekarang, setelah 13 tahun pemerintahan orde baru jatuh umat Kristiani di Indonesia dituntuk untuk ikut seta sepenuhnya dan tanpa pamrih mensukseska demokrasi Indonesia. Tak ada alternatif lain terhadap demokrasi di Indonesia. Sebuah kediktatoran militer tidak mungkin. Pola orde baru juga tidah boleh terulang. Apabila demokrasi di Indonesia gagal, bisa juga negara Indonesia gagal, itu berarti bangsa gagal dan riwayat Indonesia berakhir.

2. Kita harus membangun kehidupan bersama, yang bersedia menerima baikadanya pluralitas dalam bangsa Indonesia yang multidimensional itu. Karena itu kehidupan masyarakat harus ditata secara inklusif, atas dasar toleransi. Toleransi itu, kesediaan untuk saling menerima dalam keberlainan masing-masing menjadi syarat survival bangsa. Tetapi hal itu berlaku bagi semua. Sikap membiarkan terjadinya kekerasan kelompok atas nama Agama tertentu adalah tindakan melecehkan toleransi yang dijunjung tinggi para founding fathers Negara Republik Indonesia.

3. Kita harus secara nyata mewujudkan soldaritas bangsa berdasarkan sila ke-5 Pancasila, khususnya dengan saudara-saudara miskin dan lemah. Perbedaan kasar antara kaya dan miskin, peremehan kelas-kelas atas terhadap kelas-kelas berpendapatan rendah merupakan cacat bangsa yang paling besar. Tak mungkin masa depan bangsa dibangun atas dasar ketidak adilan. Orang – orang Kristiani harus berdiri di front pertama perjuangan melawan ketidakadilan sosial. Ingat, sikap terhadap orang yang lapar, haus, tak berpakaian, tak punya rumah, sakit itulah yang menentukan apakah kita diterima ke dalam kerjaan Allah, dan bukan surat baptis (Mt. 25: 31 – 46).

VI. Komentar

1. ”Datanglah Kerajaan – Mu diatas bumi seperti didalam Surga”. Potongan dari doa Bapa Kami, yang diajarkan Yesus Kristus terebut, mengandung permohonan batin supaya “nilai-nilai yang kudus – benar – adil – juju dll yang dihayati para kudus di Surga” juga dipancarkan ke dalam dunia, sehingga juga dihayati oleh umat manusia. Sehingga umat manusia diseluruh bumi juga menikmati kedamaian – kesejahteran, kebahagiaan serta persaudaraan sejati. Disitulah umat Kristiani diutus untukmewujud nyatakan nilai – nilai luhur surgawi tersebut.

2. “Lingkungan hidup bisa laksana ada serigala – serigala yang ganas. Tetpi juga ada yang berkehendak baik secara leluasa”. Untuk lingkungan yang tidak bersahabat, Yesus menegaskan ”... hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (dalam Roh Yesus Kristus)” (Mt.10: 16). Dalam menolak ketidakadilan dan kebohongan Pemerintah/ Penguasa/ orang biasa, orang Kristiani perlu memikirkan dan menemukan cara – cara yang efektif dan selaras dengan situasi dan kondisi lingkungannya.

3. Hal yang cukup sulit untuk dipercayai ialah Allah mampu juga untuk menyampaikan pikiran – pikiran dan kehendak – kehendak Nya yang Kudus melalui pendosa - pendosa. Oleh sebab itu, orang Kristiani perlu sekali belajar ketrampilan memperbedakan gerakan – gerakan roh – roh baik dan roh – roh jahat. Sehingga ia terhindarkan dari kesalahan – kesalahan dan kekeliruan – kekeliruan.

4. Gereja Katolik berwenang memaklumkan nilai - nilai rohani dan moral yang prinsip – prinsip kedalam semua bidang kehidupa sosial – ekonomi – politik – seni budaya – hukum – kemiliteran – kepolisian – iptek. Namun gereja tidak ikut menentukan kebijakan – kebijakan politik praktis, ekonomi praktis, hukum praktis dan sebagainya. Yang terlibat dalam kegiatan praktis tersebut adalah pria – wanita awam Katolik. Hanya mereka itu tidak berbicara atas nama Gereja Katolik melainkan atas nama suara hati merdeka mereka sendiri sebagai warga negara dan sebagai orang Kristiani.

5. Hubungan Gereja dan Negara saling otonom, tidak saling menguasai. Gereja, karena penetapan Allah, bersifat ”supra – nasional”: mengatasi segala bangsa, karena merupakan bagian integral dari kerajaan Allah yang disurga. Namun Gereja, yang adalah kesatuan Herarki dengan Awam Katolik, dipanggil oleh Yesus Kristus, yang menjiwainya, untuk menerangi dan menggarami dunia dengan terang-terang Injili Nya. Gereja yang illahi tersebut perlu membaur dengan budaya dunia manusia. Itu berarti antara lain : Herarki – Umat Katolik, dalam batas-batas tertentu, berhubungan atau bergaul dekat dengan aneka pejabat yudikatif/ eksekutif/ legislatif/ intelektual/ profesional maupun dengan sesama warga negara yang beragam agama, ras, etnis, suku, aliran politik/ keyakinannya. Penggaraman Injili kiranya hanya subur, kalau terjadi pembauran yang kental – kualitatif. Oleh karena itu Gereja perlu mengevaluasi – kritis diri: ekskluivisme Umat Katolik, status sosial Imam, Bruder, Suster, sistem pendidikan calon Pastor, Bruder, Suster, Teologi Kerjaan Allah, hubungan Herarki dengan Awam Katolik dll.

6. Hati nurani politisi Katolik perlu berorientasi pada etika dan spritualitas politik Katolik. Demikian pula masing – masing ahli ilmu kategorial Katolik perlu berorientasi pada etika dan spiritualitas pada etika dan spirtualitas Katolik seturut bidang keahlian masing – masin (sos, pol, ek, bud, hankam, mil, pol, iptek) yang ditegaskan oleh Kuasa Mengajar Gereja Katolik. Meskipun orientasi etika dan spiritualitas Katolik bisa bermacam ragam, karena sikon tempat berkiprah bermacam ragam pula.

7. Tingkat korupsi yang paling tinggi di Indonesia menunjukkan betapa harga diri manusia dinilai sangat rendah. Perendahan martabat diri manusia terebut juga tampak dalam ”maraknya jumlah teroris berbangsa Indonesia”. Tindakan penculikan, pembunuhan, pengeboman yang memakan banyak korban dirasa tanpa rasa bersalah lagi. Demikian pula penghambatan ijin pembangunan tempat ibadah merupakan contoh ”dangkalnya atau miskinnya penjunjungan harkat dan martabat manusia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar