10 Mei, 2011

RANGKAIAN PERINGATAN 120 TAHUN RERUM NOVARUM KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG


Pada 15 Mei 1891, -seratus dua puluh tahun lalu- , Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik (surat edaran kepada semua uskup di seluruh dunia untuk diteruskan ke umat) berjudul “Rerum Novarum” (Hal-hal Baru). Mengapa disebut “Hal-hal Baru?” Dalam RN ini Paus Leo XIII membahas Ajaran Sosial Gereja (ASG) seraya menunjukkan asas-asas atau pun pedoman-pedoman tentang tatasosial Katolik (baca: Ensiklopedi Populer Tentang Gereja, 1975). Pada waktu itu keadaan dunia sangat dicekam kemiskinan yang terutama diderita oleh buruh upahan yang hidup bagaikan budak bagi sebagian (kecil) orang-orang kaya. Secara positif RN menegaskan “tenaga kerja manusia jangan diperlakukan sebagai barang dagangan belaka, tetapi sebagai perwujudan langsung martabat insani. Maka orang-orang kaya haruslah adil. Karena itu kewajiban seluruh Negara, pemerintah, dan masyarakat, untuk memajukan perkembangan social ekonomi.

Sejak saat itu tema upah yang adil, perlawanan terhadap penghisapan atas orang pribumi oleh penjajah, dsb mulai dibahas secara terbuka. Sejak saat itu pula teologi moral yang berkembang ialah mencari jawaban atas perubahan struktur sosial dgn mengembangkan ajaran ttg. hidup kemasyarakatan modern. ASG memang tidak banyak menggunakan argumen biblis-teologis, karena memandang masalah sosial dan pemecahan konkritnya sebagai persoalan manusiawi yang umum. Maka dikembangkanlah suatu analisis sosio-filosofis tentang proses-proses kemayarakatan untuk menghasilkan prinip-prinsip sosial yang berlaku umum dalam konteks mencapai cita-cita membangun kehidupan masyarakat yang adil. Tegasnya, argumentasi ASG bersifat filosofis, tetapi inspirasi untuk mencari pemecahan dan kekuatan untuk melaksanakan keadilan sosial ditimba dari iman kristiani.

Latar belakang dan masalah yang dibahas 120 tahun yang lalu, sampai saat ini ternyata masih mirip dan relevan dengan kondisi kita di Indonesia saat ini. Karena itu, RN dirujuk sebagai bahan perenungan dan refleksi Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang dalam rangka turut membangun dan mengembangkan pelayanan dibidang sosial politik kemasyarakatan. Apalagi, pada saat ini Keuskupan Agung Semarang sedang sangat gencar menyebarluaskan Arah Dasar (Ardas) lima tahun ke depan, yang antara lain menegaskan di alinea 3: Langkah pastoral yang ditempuh adalah pengembangan umat Allah, terutama kaum awam, secara berkesinambungan dalam perwujudan iman di tengah masyarakat; pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel; serta pelestarian keutuhan ciptaan. Langkah tersebut didukung oleh tata penggembalaan yang sinergis, mencerdaskan dan memberdayakan umat beriman serta memberikan peran pada berbagai kharisma yang hidup dalam diri pribadi maupun kelompok.”

Sangatlah tepat peringatan 120 tahun RN ini dikaitkan langsung dengan bulan ASG (puncaknya pada Agustus ketika bangsa dan Negara kita memperingati Hari Proklamasi).

Tujuan kegiatan Peringatan 120 tahun Rerum Novarum Keuskupan Agung Semarang dan bulan ASG 2011 Keuskupan Agung Semarang mencakup :

1. Sosialisasi dan internalisasi Ajaran Sosial Gereja di kalangan Umat Katolik Keuskupan Agung Semarang dalam kerangka aktualisasi ARDAS KAS 2010-214, dan

2. Membantu memecahkan permasalahan social politik kemasyarakatan sesuai dengan Ajaran Sosial Gereja dengan mendorong dan meneguhkan pengembangan umat Allah, terutama karya kaum awam, di tengah masyarakat guna pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel serta pelestarian keutuhan ciptaan dengan dasar Ajaran Sosial Gereja.

Tema peringatan kali ini : “Mencintai Bangsa Dalam Semangat ASG”

Peringatan 120 tahun Rerum Novarum Keuskupan Agung Semarang dan bulan ASG 2011 Keuskupan Agung Semarang dilakukan dalam sejumlah rangkaian kegiatan meliputi :

1. Diterbitkannya Surat Gembala Uskup Agung Semarang perihal Peringatan 120 Tahun Rerum Novarum

Uskup Agung Semarang Mgr. J Pujasumarta, Pr akan menerbitkan/ mengeluarkan Surat Gembala berkaitan dengan 120 tahun Rerum Novarum pada tanggal 15 Mei 2011. Surat gembala ini akan berisikan penegasan keadilan untuk peradaban publik, keadilan sosial dan hal yang baru abad 21.

Materi Surat Gembala mencakup, seruan guna mengingatkan lagi dalam konteks sekarang bagaimana tugas negara memikirkan kesejahteraan masyarakat. Termasuk perlu seruan untuk :

- Umat katolik untuk meningkatkan solidaritas bersama.

- Pemerintah daerah, supaya menganggap buruh sebagai warga negara mempunyai andil besar dalam pembangunan; penetapan upah minimum Kabuputen/Kota agar sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak masing-masing daerah; orang miskin harus dilihat sebagai subjek yang mempunyai potensi meningkatkan kesejahteraan pribadi dan masyarakat serta pembantu rumah tangga disamakan hak dan kewajiban sebagai buruh.

- Pemerintah pusat, agar supaya mengeluarkan kebijakan yang sungguh berpihak kepada orang yang menderita (KLMTD) dan segera merealisasikan langkah-langkah pembangunan sosial dan kesejahteraan yang dicanangkan melalui Millennium Development Goals (MDG’s) sebelum 2015. Terdapat 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDG’s), yakni (1) Pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, (2) Pemerataan pendidikan dasar, (3) Mendukung adanya persaman jender dan pemberdayaan perempuan, (4) Mengurangi tingkat kematian anak, (5) Meningkatkan kesehatan ibu, (6) Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) Menjamin daya dukung lingkungan hidup dan (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

2. “Doa Rosario Bagi Bangsa dan Negara”

Akan dilaksanakan di bulan Agustus 2011 dengan empat peristiwa. Renungan tiap peristiwa akan dihubungkan dengan masalah-masalah aktual sosial ekonomi kemasyarakat yang berkembang di masyarakat Indonesia.

Untuk itu sudah disiapkan pengantar doa rosario yang disosialisasikan dan didaraskan pada bulan Juli sampai dengan Agustus pada waktu perayaan hari kemerdekaan RI.

3. Seminar ASG di empat kevikepan dengan tema-tema yang berbeda di tiap kevikepan.

Seminar dengan tema tematis ASG di empat kevikepan dengan tujuan sosialisasi sekaligus penyadaran serta menemukan nilai-nilai ASG dalam bahasan tema kehidupan kemasyarakatan yang diseminarkan yang meliputi :

  • a. Kevikepan Semarang pada 22 Mei 2011 pukul 10 pagi dengan tema “Menemukan Nilai-Nilai ASG dalam Relasi Modal dan Buruh”. Pembicara DR. JC. Tukiman Taruna dan Rm. Vincentius Sugondo, SJ. bertempat di Gedung Kantor Pelayanan PAstoral Keuskupan Agung Semarang, Jl. Imam Bonjol 172 Semarang
  • Kevikepan Kedu 19 Juni 2011 jam 10 pagi dengan tema “Implementasi Nilai-Nilai ASG dalam Usaha Peningkatan Kesejahteraan Orang Miskin". Pembicara Rm. AG. Luhur Prihadi. Pr. dan Prof. FX. Sugiyanto. Bertempat di Gereja Santo Ignatius Magelang, Jl. Yos Sudarso No. 6 Magelang
  • Kevikepan Surakarta 24 Juni 2011 jam 10 pagi dengan tema “Implementasi Nilai-Nilai ASG dalam Ranah Kebijakan Publik”. Pembicara FX. Hadi Rudiyatmo dan Drs. Andreas Pandiangan, M. Si. Bertempat di Gereja Santa Maria Regina Purbowardayan Jend. A. Yani No. 10 Surakarta
  • Kevikepan DIY tanggal 14 Agustus 2011 jam 10 pagi dengan tema “Implementasi Nilai-Nilai ASG Guna Membangun Solidaritas” pembicara Rm. Isidorus Warnabinarja, SJ dan dari Lingkar Muda DIY.Bertempat di Gedung Widya Mandala Yogyakarta Jln. Abubakar Ali Yogyakarta
  • Ditutup dengan pemaparan Surat Gembala Perayaan Hari Kemerdekaan RI dari Keuskupan Agung Semarang oleh Mgr. J Pujasumarta, Pr.

Peserta seminar adalah:

- Perwakilan dari paroki (Dewan Paroki dan PK3 Paroki)

- Ormas Katolik

- Anggota DPRD Katolik

- Pelajar / Mahasiswa Katolik

- Umum

09 Mei, 2011

BEBERAPA BEKAL KEMASYARAKATAN BAGI UMAT KATOLIK INDONESIA

oleh: Pusat Spiritualitas Awam (PSA)

FAHAM TENTANG ALLAH

1. Allah yang penuh misteri adalah Allah yang Maha Esa (Maha Satu) (Mk. 12: 29). Kenyataan kebenaran itu diakui dalam Sila 1 Pancasila. Kesejatian Allah tak mungkin dilukiskan dalam segala bahasa manusia. Yang manusia sembah adalah kesejatian Allah, bukan Allah yang dirumuskan dalam bahasa-bahasa manusia.

2. Tak ada seorang pun yang memahami siapa Allah sesungguhnya, kecuali Yesus Kristus, yang adalah Sabda Allah (keluar dari pribadi Allah) yang menjadi manusia Yesus Kristus. Sebab dalam kemanusiaan Yesus Kristus itulah diam seluruh kepenuhan Allah (Kol. 1:19; 2: 9; Yoh 1:1).

3. Allah menciptakan segala ciptaan di alam adikodrati (sorgawi) maupun di alam kodrati. Terhadap seluruh ciptaan adikodrati maupun seluruh ciptaan kodrati, Allah adalah maha kuasa. Terhadap seluruh ciptaan kodrati dan adikodrati-Nya Allah menciptakan-menguasai - memelihara - menyempurnakannya dari detik ke detik.

4. Segala yang diciptakan Allah baik adanya, melalui mana Allah menampakkan kemuliaan-Nya dan melalui mana manusia bersentuhan-bertemu dengan Allah.

5. Allah maha pandai dan bijaksana, Dia bisa menyampaikan-memercikkan segala nilai kebenaran dan kekudusan-Nya pada orang yang jiwanya berkenan pada-Nya. Nilai-nilai kebenaran-kebenaran-Nya terpancarkan ke mana-mana. Sehingga orang perlu menaruh hormat pada nilai-nilai kebenaran-Nya dalam Agama-agama / Kepercayaan-kepercayaan, meskipun jumlah dan bobotnya tidak sama. Rasa hormat tersebut juga hendaknya ditujukan kepada para pemeluk Agama-agama / Kepercayaan-kepercayaan. Maka ajaran Konsili Vatikan II: kita perlu menaruh hormat pada Agama-agama /Kepercayaan-kepercayaan beserta para pemeluknya. Demikian pula kita perlu terbuka untuk berdialog dan bekerjasama dengan semua pemeluk Agama/Kepercayaan.

6. Karena Allah selalu menyempurnakan manusia, dari Agama / Kepercayaan mana pun juga, baik melalui hukum kodrati maupun melalui hukum adikodrati-Nya, maka bisa terjadi manusia berpindah dari Agama/Kepercayaannya yang lalu. Hak berpindah Agama/Kepercayaan adalah hak asasi. Maka orang itu hanya harus bertanggungjawab penuh terhadap Allahnya.

7. Secara dasariah, setiap orang yang telah memeluk Agama / Kepercayaan tertentu dapat dan berhak mewartakan imannya, di mana pun dan kapan pun juga. Entah di tengah-tengah orang-orang yang beragama mayoritas, entah di tengah-tengah orang-orang yang beragama minoritas, entah di tengah-tengah orang-orang yang tidak memeluk Agama / Kepercayaan apa pun.

8. Secara dasariah, para pemeluk Agama / Kepercayaan Minoritas berhak tinggal dan mendapatkan tempat ibadat di tengah- tengah para pemeluk Agama / Kepercayaan mayoritas. Negara / Pemerintah hanya bertindak, sejauh kegiatan-kegiatan Agama / Kepercayaan itu mengganggu ketenteraman-kebaikkan-kesejahteraan hidup bersama masyarakat umum.

9. Sesungguhnya, Negara / Pemerintah tidak berhak menentukan mana Agama / Kepercayaan yang resmi dan mana yang tidak resmi. Negara/Pemerintah hanyalah mengatur Ruang Publik dalam masyarakat dengan adil, sehingga interaksi antar pemeluk Agama / Kepercayaan dapat berlangsung dengan cinta kasih-damai-tertib-bermartabat-bersahabat. Sejauh sebagai sama-sama warga negara yang sederajat, para pemeluk Agama / Kepercayaan diatur oleh Negara dalam bermasyarakat-berbangsa-bernegara.

10. Allah yang Maha Esa itu adalah maha kudus, maha bijaksana, maha cinta kasih, maha lembut hati dan maha pengampun. Maka seluruh umat manusia diharapkan bersatu semangat dengan Allah: yang mencintai kelemah-lembutan daripada kekerasan, yang lebih mengutamakan nilai-nilai kekudusan daripada kejahatan.

11. Allah Maha Bijaksana. Dia sangat mampu menyelamatkan siapa pun, baik yang beragama maupun yang tidak beragama dari segala macam bangsa, yang dikehendaki-Nya masuk ke dalam sorga, dengan cara-Nya sendiri yang tidak mungkin ditangkap-dimengerti oleh kekuatan kepandaian maupun kekuatan kepekaan hati manusia.

KETUHANAN YANG MAHA ESA

1. Para Pendiri Bangsa Indonesia melihat dengan jelas dan sukar ditolak kebenarannya, bahwa bangsa Indonesia memiliki rakyat yang memeluk aneka ragam Agama (Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Islam) dan Kepercayaan (Pangestu, Subud, Merapu, Kaharingan, Kong Hu Cu, dll.). Dalam kebermacaman Agama dan Kepercayaan itu jelas mereka dapat menerima dan percaya bahwa Tuhan itu maha Esa, Pencipta dan Penyelamat segala ciptaan-Nya (bdk.Sila 1 Pancasila).

2. Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan prinsip demokrasi, seluruh kelompok dan rakyat Indonesia mendapat payung untuk menjamin hak keberadaan, hak hidup dan hak perkembangan dalam memeluk Agama / Kepercayaannya.

3. Walaupun kita berbeda-beda Agama atau Kepercayaan, kita sama-sama warga negara bangsa Indonesia dan memiliki Allah yang maha Satu. Maka seharusnyalah seluruh warga negara Indonesia saling menghormati dan mengasihi satu sama lain, rneskipun berbeda-beda dalam Agama atau Kepercayaan.

4. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia bebas memeluk Agama / Kepercayaannya dan beribadat seturut Agama / Kepercayaannya itu. Di mana pun setiap warga negara itu tinggal-berada-hidup, ia bersarna dengan kesatuan kelompoknya berhak mendirikan tempat ibadat untuk peribadatannya sesuai dengan Agama / Kepercayaannya itu, tanpa dibatasi oleh jumlah anggota kelompok, oleh kedaerahan maupun kesukuan.

5. Warga negara yang mayoritas beragama tertentu seharusnyalah bersikap terbuka dan senang hati menerima sesama warga negara minoritas yang datang berada di antaranya. Karena setiap warga negara bebas berpindah tempat dan bebas serta berhak memilih tempat tinggal dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

6. Perkembangan masyarakat modern Indonesia akan berupa percepatan perpindahan penduduk-warganegara, karena tuntutan-tuntutan tugas-jabatan-fungsi kenegaraan- kemasyarakatan. Secara konsekuensial, itu berarti: di seluruh tempat-wilayah di Negara Republik Indonesia seharusnya ada kemudahan berdirinya tempat-tempat ibadat aneka Agama / Kepercayaan. Demikian juga, wilayah-wilayah yang saat ini sudah termasuk wilayah dengan mayoritas agama tertentu, haruslah terbuka untuk masuknya aneka pemeluk Agama / Kepercayaan yang adalah sama-sama warga negara Republik Indonesia.

7. Dalam teologi yang modern, tidak pada tempatnya lagi suatu kelompok Agama mengklaim diri sebagai satu-satunya Agama yang sah dan paling benar.

HAK-HAK ASASI MANUSIA - HUMANISME UNIVERSAL

1. Semua ketetapan-ketetapan internasional yang telah diratifikasi oleh bangsa Indonesia, seharusnyalah diimplementasikan dalam sikap dan perilaku seluruh rakyat Indonesia. Misalnya: Universal Declaration of Human Rights (1948); Konvensi Internasional tentang penghapusan diskriminasi sosial; Konvensi Internasional tentang hak-hak sosial, politik, ekonomi, dsm. Itulah konsekuensi bangsa Indonesia bertetangga dan berkomunitas internasional (hidup bertetangga dengan bangsa-bangsa). Tata kesopan-santunan ketetanggaan internasional harus dihayati secara jujur dan berkehendak baik serta dalam semangat kerjasama (bdk. Sila 2 Pancasila).

2. Bangsa yang maju adalah bangsa yang pro-aktif dalam kerjasama dengan bangsa-bangsa di dunia. Dalam kerjasama itulah bangsa Indonesia ambil pelajaran-pelajaran yang berharga untuk memajukan tingkat kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia ke masa depan.

3. Kebenaran-kebenaran internasional yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan, perlu dihormati dan dijunjung tinggi (misalnya yang sekarang ini: kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan, yang mengatasi nilai-nilai budaya kuno yang diturunkan dari tafsir kurang tepat atas teks-teks Kitab Suci). Laki-laki maupun perempuan sama-sama tercipta sebagai gambar pribadi Allah dan sama-sama memiliki hak-hak asasi.

4. Memang harus disadari, bahwa tidak segala nilai yang dianut oleh suatu bangsa asing selalu cocok dengan nilai-nilai bangsa kita. Bangsa kita perlu selektif dalam memilih nilai-nilai yang ada dalam budaya bangsa-bangsa asing. Misalnya: budaya memakai pakaian (pakaian rock-mini, jubah-cadar,dll.), kemudahan cerai, berpoligami, dll. Sedang nilai-nilai yang benar dan bagus perlu diambil untuk menggantikan bilai-nilai budaya yang kurang bagus, misalnya: kerja keras, menghargai waktu, kejujuran, dsm.

PLURALISME DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA

1. Para Pendiri Bangsa Indonesia sangat melihat dengan jelas dan sangat menerima kenyataan-kenyataan, bahwa bangsa Indonesia sungguh-sungguh sangat plural: budaya, bahasa, suku, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, dll. Keragaman itu hendaknya dipandang sebagai anugerah Allah yang dapat saling memperkaya dalam hidup kebersamaan untuk mengejar kesejahteraan umum seluruh rakyat Indonesia. Dalam keaneka-ragaman itu hendaknya diikat oleh rasa persatuan dan kesatuan nasional bangsa Indonesia yang lahir dari ke-senasib-an terjajah oleh penjajah-penjajah, (Bhinneka Tunggal Ika dan bdk. Sila 3 Pancasila).

2. Pancasila merupakan cara atau metode bagaimana kita mempraktekkan hidup bersama-bersatu sebagai bangsa Indonesia. Maka Pancasila, di samping sebagai dasar filosofi berbangsa dan bernegara Indonesia, juga merupakan pedoman cara kita bersikap dan berperilaku dalam hidup sehari-hari, khususnya dengan sesama warga negara Indonesia.

3. Dalam negara Indonesia, yang warga negaranya sangat pluralis, harus ada Ruang Publik, yaitu ruang tata peraturan yang mengatur kehidupan umum seluruh rakyat Indonesia dalam bermasyarakat - berbangsa dan bernegara. Golongan/Kelompok tertentu tidak bisa memasukkan, apalagi memaksakan, pandangan-pandangan Golongan / Kelompoknya untuk diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia. Misalnya: pandangan budaya-filsafat Jawa atau Aceh atau Papua atau Agama Tertentu. Kalau Ruang Publik diisi demikian, sudah pasti Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu resah-tidak pernah ada kedamaian hidup. Maka bangsa Indonesia juga tidak mungkin membangun dengan cepat ke arah kesejahteraan umum yang moderen dan yang penuh keadilan dan kemakmuran.

4. Jelas sekali, bahwa bangsa Indonesia sudah pasti akan terpecah belah berantakan, kalau Ruang Publik didominasi oleh Golongan / Kelompok tertentu. Misalnya: agama tertentu mendominasi Ruang Publik bangsa Indonesia, maka kenyataan itu sungguh-sungguh akan memicu adanya tuntutan melepaskan diri Daerah-daerah Tertentu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayangnya, di Negara Kesatuan Republik Indonesia masih ada Golongan / Kelompok yang tidak peduli dengan terpeliharanya kesatuan dan persatuan nasional Indonesia.

5. Golongan-golongan mayoritas, yang menindas golongan-golongan minoritas, akan menyebabkan adanya tuntutan-tuntutan kemerdekaan dari golongan-golongan minoritas yang ingin mendirikan negara sendiri, lepas dari NKRI. Itu bukan impian, tetapi suatu kenyataan psikologis-sosial yang siap mewujudnyata, apabila kepahitan-kepahitan menimpa mereka dari hari ke sehari (bdk. kasus Timor-Timur, Aceh dan Papua).

6. Semangat kesatuan dan persatuan harus selalu digali, dikembangkan dan disentausakan melalui sumbernya: Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), Pancasila, UUD 1945 dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

SOSIALISME-DEMOKRASI

1. Sila 4 Pancasila: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan" perlu diimplementasikan dalam semangat sosial dan demokratis.

2. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Itu berarti bahwa manusia harus bekerjasama dan bantu membantu dalam mengarungi dan mengelola kehidupan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Manusia dikehendaki oleh Allah untuk selalu mengembangkan talenta diri, agar lebih berdayaguna bagi Allah dan kesejahteraan rohani-jasmani sesamanya.

3. Dasar sosialisme ialah bahwa setiap manusia adalah ciptaan Allah, dicintai Allah, diurus oleh Allah dari detik ke detik. Sehingga cinta kepada Allah harus juga terekspresikan ke dalam cinta kepada manusia-manusia ciptaan-Nya. Lebih jauh, bahwa manusia perlu menyempurnakan hidup diri dengan menyempurnakan hidup sesamanya yang diurus oleh Allah.

4. Allah maha cinta kasih. Itu berarti Allah maha pembangun ke kualitas hidup yang lebih baik dan benar. Karena cinta-kasih-Nya yang maha itu, la sangat mampu mencintai pendosa-pendosa, "memberikan matahari kepada orang yang benar maupun orang yang tidak benar, memberikan hujan kepada orang yang baik maupun orang yang jahat" (Mt. 5:45). la juga memerintahkan kepada setiap manusia untuk mencintai musuh-musuh dalam kehidupan sehari-hari.

5. DEMOKRASI adalah usaha manusia untuk mengatur diri sendiri dalam komunitas manusia. Pengaturan diri sendiri tersebut berupa kebersamaan untuk membentuk kekuatan mengatur-memerintah yang berasal dari seluruh rakyat, untuk dipergunakan guna segala kepentingan mensejahterakan seluruh rakyat dan untuk pemilihan atas person-person pemangku kekuatan-pemerintahan dilakukan oleh seluruh rakyat. Pemerintahan gaya demokrasi tersebut bertentangan dengan pemerintahan gaya THEOKRASI (pengaturan-pemerintahan dari Allah, oleh Allah dan untuk Allah).

6. Dalam demokrasi, setiap orang harus menjunjung tinggi martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kedudukan sosial perempuan dan laki-laki sederajat-setarajender, hak laki-laki dan perempuan sama di hadapan hukum. Hak-hak minoritas sangat dijunjung tinggi. Oleh sebab itu dalam mengambil keputusan bersama lebih diutamakan melalui jalan musyawarah menuju mufakat, bukan jalan pemungutan suara (voting). Dalam demokrasi yang lebih diutamakan ialah penemuan kehendak mumi seluruh rakyat. Bukan kehendak rakyat yang ditunggangi atau dimanipulasi oleh kelompok tertentu.

KEADILAN SOSIAL

1. Sila 5 Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” perlu ditanamkan dalam jiwa setiap warga negara dan diwujudnyatakan dalam perbuatan-perbuatan real dalam hidup sehari-hari.

2. Prinsip keadilan: antara lain, berikanlah kepada orang / kelompok / golongan seturut haknya.

3. Hukum-hukurn dan peraturan-peraturan yang bias jender harus dibongkar-tepatkan kembali, karena banyak perundangan-peraturan yang mendiskriminasi dan tidak adil terhadap hak-hak perempuan.

4. Keadilan sosial hendaknya dicapai oleh Pemerintah yang berinteraksi positif dengan masyarakat Pasar. Demikian pula hendaknya keadilan sosial dicapai oleh Pemerintah yang berinteraksi positif dengan masyarakat Sipil. Dan juga hendaknya keadilan sosial dicapai oleh masyarakat Pasar yang berinteraksi positif dengan masyarakat Sipil.

5. Keadilan sosial perlu ditegakkan, khususnya dalam kaitan-kaitan dengan hak-hak warganegara orang-orang China, buruh kecil, petani, nelayan, kaum berpendidikan rendah, yang banyak dirampas dan ditindas.

6. Keadilan sosial juga perlu ditegakkan dalam kaitan dengan hak-hak orang-orang yang beragama Kristen dan Katolik dan golongan-golongan Agama/ Kepercayaan yang minoritas, yang banyak dirampas dan ditindas.

7. Keadilan sosial perlu dicermati dalam pelaksanaan peraturan-perundangan Otonomi Daerah, khususnya dalam kaitan hak-hak Otonomi Daerah dengan Pusat Pemerintahan dan hak-hak Otonomi Daerah dengan sesama Otonomi Daerah.

8. Penegakan hukum keadilan sosial, yang bersumber dari humanisme universal dan sejarah bangsa Indonesia, perlu diwujudnyatakan.

9. NKRI akan goyah-banyak konflik-pecah, apabila keadilan sosial tidak sungguh-sungguh diperhatikan pelaksanaannya.

PENDIDIKAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)

1. Pendidikan kewarganegaraan jelas perlu diperbaharui dan ditingkatkan. Sebab, sampai saat ini, hanya terdapat segelintir negarawan-negarawati yang benar-benar cinta tanah air dan cinta bangsa Indonesia. Banyak petinggi-petinggi pemerintahan yang terlalu terokkupasi oleh kepentingan-kepentingan Partai / Golongan (sektarian-primordialis), sehingga pengutamaan pencapaian kesejahteraan umum seluruh rakyat Indonesia jatuh nomor sekunder atau malah tertier.

2. Departemen Pendidikan Nasional disinyalir menduduki peringkat ke dua dalam soal korupsi. Kalau itu dikaitkan dengan wabah koruptor di Indonesia saat ini, maka ada korelasi yang sangat kuat, bahwa mutu pendidikan moral rakyat Indonesia sangat rendah. Pendidikan Agama di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi de facto menjadi kontra produktif. Sebaiknya pendidikan Agama di sekolah dan perguruan tinggi ditiadakan, karena dalam kenyataannya disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan politik sektarian dan menurunkan kualitas keilmiahan peserta didik. Dan perlu dimasukkan kembali, sebagai gantinya, pendidikan Budi Pekerti Bangsa.

3. Pendidikan Agama di sekolah dan perguruan tinggi sangat menurunkan mutu keilmiahan hasil pendidikan. Di samping itu pendidikan Agama di sekolah dan perguruan tinggi sangat mempertajam ketidak-rukunan antar pemeluk Agama / Kepercayaan, bahkan meningkatkan rasa kecurigaan dan permusuhan antar sesama warga negara Indonesia. Dalam pelajaran Agama di sekolah dan perguruan tinggi juga terbawa ke arah menjelek-jelekkan Agama/Kepercayaan satu sama lain.

4. Undang-undang Sisdiknas yang baru disahkan mengandung secara leluasa banyaknya waktu yang akan dipergunakan untuk pendidikan dan aktivitas-aktivitas keagamaan di tempat-tempat pendidikan. Sehingga akan mengundang kemerosotan mutu ilmiah pendidikan secara besar-besaran. Konsekuensi lebih lanjut: negara kekurangan SDM yang handal dan rakyat akan tetap miskin-bodoh-tertinggal-menderita. Bertahun-tahun selama Orde Baru, pendidikan Agama di sekolah dan perguruan tinggi menghasilkan orang-orang agamis tetapi penjahat-penjahat ulung.

5. Budaya sektarianisme-kolusi-nepotisme yang sangat kental sangat merugikan usaha-usaha menciptakan tenaga-tenaga ahli yang unggul. Sebab budaya itu menyuburkan pemenangan pemilihan Kepala Sekolah/Pimpinan Universitas yang tidak bermutu untuk memimpin sekolahan/perguruan tinggi. Budaya itu juga menciptakan pengiriman-pengiriman mahasiswa-mahasiswi terpilih, yang tidak bermutu, untuk distudikan ke luar negeri. Budaya itu juga menyebabkan orang-orang China warganegara Indonesia yang pandai-pandai pada lari ke luar negeri, dan mereka sangat menguntungkan pemajuan kesejahteraan umum bangsa asing/luar negeri, setelah memperoleh S-3-nya.

6. "Ruang Publik” (Re Publica) dalam sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi negeri sudah banyak yang terampas oleh golongan yang terlalu agamis, sehingga dari tempat-tempat pendidikan itu jangan diharap akan keluar banyak hasil-hasil SDM yang unggul-unggul dan berjiwa negarawan-negarawati Indonesia.

7. Karena tempat-tempat pendidikan telah dirampas oleh golongan yang terlalu agamis, akan terjadilah kemerosotan tajam mutu pendidikan Pancasila dan akan semakin miskinlah hasil-hasil pendidikan yang berjiwa nasionalis sejati Indonesia. Akibat jauhnya antara lain: NKRI akan pecah menjadi negara-negara merdeka kecil-kecil atau NKRI akan berubah bentuk menjadi Negara Agama Tertentu (bdk. untuk ke NII, tehnik DI / TII diubah ke Perjuangan lewat Konstitusi dan Budaya).

8. Semakin rendah tingkat keterdidikan ilmiah rakyat, semakin tinggi tingkat kekacauan dan tingkat konflik horisontalnya. Dan kemajuan bangsa menjadi semakin terhambat.

KEAMANAN NASIONAL

1. Perlu ditanamkan ke dalarn seluruh rakyat Indonesia, bahwa keamanan nasional merupakan tanggungiawab bersama seluruh rakyat Indonesia. Tuntutan tanggungjawab keamanan nasional tersebut seharusnyalah masuk ke dalam kurikulum pendidikan sekolah dan perguruan tinggi. Sehinga peserta didik menjadi sadar sebab-sebab terjadinya ketidak-amanan dan bagaimana mengatasi bersama terhadap ancaman-ancaman ketidak-amanan tersebut.

2. Pendidikan Kepolisian perlu berubah orientasi setelah dipisahkan dari Militer. Pendidikan yang mencetakkan jiwa mengatasi dan mengayomi segala golongan dalam masyarakat sangat penting ditanamkan ke dalam jiwa polisi. Maka pendidikan Pancasila dan Warisan-warisan Jiwa para Pendiri Bangsa sangat penting untuk dipelajari dan didarahdagingkan ke dalam jiwa para polisi. Sebab menduduki kekuasaan berarti menghadapi banyak godaan.

3. Demikian pula Pendidikan Tentara Nasional Indonesia, sangat perlu ditanamkan jiwa Pancasila, jiwa para Pendiri Bangsa Indonesia, jiwa kenegarawanan-kenegarawatian dan jiwa mampu mengatasi segala golongan dalam rakyat Indonesia. Harus diakui bahwa cukup jelas ada tanda-tanda tentara nasional yang terlibat memihak golongan seagama, yang melanggar sumpah prajurit Sapta Marga (bdk. kerusuhan Ambon, Poso, dsm.).

4. Ancaman-ancaman dari luar segera harus diatasi, karena bisa mengundang ketidak-amanan nasional a.l.: penjagaan pulau-pulau paling luar NKRI (bdk: Ambalat, Likidan); pengaruh-pengaruh negara-negara Timur Tengah yang memicu terorisme internasional dengan memperalat Indonesia (teroris Indonesia ke Filipina; pengiriman pelatihan ke Afganistan, Lybia); fihak-fihak luar negeri yang mempunyai kepentingan khusus dengan bangsa Indonesia (mis.: USA dalam soal Papua), dsm.

5. Keamanan dalam negeri terus menerus terganggu, antara lain oleh: konflik-konflik antar pemeluk Agama/Kepercayaan; rasialisme anti China; ketidakadilan-ketidakadilan Pemerintah dalam melayani rakyatnya yang pluralis, dll.

6. Masalah Papua merupakan ancaman keamanan nasional yang sangat serius.

PENEGAKAN NEGARA HUKUM

1. Kepastian hukum sangat lemah di Indonesia: di dunia hukum, ekonomi, politik, tehnologi, sosial, budaya, dll. Tanpa kepastian hukum menyebabkan aneka kejahatan, antara lain: berkembangnya koruptor, investor asing tidak mau masuk untuk menanamkan modal usahanya, demikian juga investor dalam negeri juga enggan menanamkan modal usahanya. Akibatnya a.l.: pengangguran semakin bertarnbah, produk-produk ekspor makin mengecil, negara dan rakyat semakin miskin, menderita, dll.

2. Hukum memihak yang punya uang, karena hukum-keadilan bisa dijual-dibelikan, sehingga orang kecil-tak berduit selalu dikalahkan dan ditindas. Kesejahteraan hidup fungsionaris hukum terlantar.

3. Dalam jaman Presiden Soeharto dan BJ.Habibie ada banyak sekali produk perundang-undangan yang sangat manipulatif-ceroboh-mentah-mengabdi kekuasaan, dsm. Perundangan-perundangan tersebut perlu sekali dicabut atau disempurnakan secara baik dan benar.

4. Ada penyelewengan dalam Perda-perda: syariat Agama tertentu dipaksakan masuk ke dalam Ruang Publik Otonomi Daerah, sehingga cepat atau lambat akan menimbulkan konflik antar pemeluk Agama / Kepercayaan.

5. Hukum pada hakikatnya untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Maka hukum berkembang mengikuti perkembangan manusia. Hukum Agama, yang diturunkan dari wahyu Agama, perlu dikembangkan oleh tafsir modern yang ilmiah dan yang dijiwai nilai-nilai agama yang murni.

PEMBENTUKAN WATAK BANGSA

1. Pembentukan watak bangsa masih belum berhasil, karena masih terjadi begitu mudahnya peperangan antar suku, konflik transmigran dengan penduduk setempat, konflik antar pemeluk Agama/Kepercayaan, dsm.

2. Hak-hak penuh sebagai warga negara untuk orang-orang China perlu dipulihkan dari aneka bentuk peraturan dan perundangan yang diskriminatif dan rasialis. Orang-orang China perlu dididik untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik dan benar.

3. Seluruh rakyat Indonesia perlu disadarkan untuk saling menghormati antar pemeluk Agama/Kepercayaan, karena Negara/Pemerintah memang menjamin kebebasan beragama/berkepercayaan, termasuk kebebasan berpindah Agama/Kepercayaan.

4. Pemerintah-pemerintah Otonomi Daerah sangat perlu menanamkan watak bangsa Indonesia pada rakyatnya, khususnya sikap keterbukaan untuk menerima kehadiran warga negara-warga negara dari lain daerah, termasuk keterbukaan untuk menerima aneka pemeluk Agama/Kepercayaan.

5. Bagaimanapun juga seluruh rakyat Indonesia masih terus menerus wajib memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila dan cita-cita luhur para Pendiri Bangsa Indonesia. sebagai dasar bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berkali-kali Pancasila telah diselewengkan. Itu tidak berarti Pancasila mengandung nilai-nilai buruk. Nilai-nilai dalam Pancasila tetap luhur.

6. Watak cinta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Sila 5) perlu dijunjung tinggi. Hal itu diperkuat oleh ratifikasi hak asasi sosial dari Konvensi Internasional tentang hak asasi sosial.

PERGAULAN ANTAR BANGSA

1. Kedekatan hubungan antar penduduk bangsa-bangsa semakin luas dan semakin rnendalarn, berkat perkembangan pesat-canggih alat-alat komunikasi dan transportasi moderen. Sudah tidak jamannya lagi, kalau kita mengambil sikap "seperti katak dalam tempurung" yang akan membawa ke fanatisme-fanatisme sempit dan ilusi-ilusi yang menyesatkan.

2. Aneka hubungan antar negara dan antar bangsa perlu dijadikan kesempatan untuk melahirkan tenaga-tenaga ahli hasil pendidikan luar negeri dan itu ditujukan pertama-tama dan terutama untuk meningkatkan kesejahteraan umum seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kepentingan Partai/Golongan.

3. Seluruh rakyat Indonesia juga perlu sekali dididik bagaimana bergaul dan bekerjasama secara bermartabat-beradab dengan sesama manusia dari pelbagai bangsa dan negara.

4. Seluruh rakyat Indonesia perlu dididik untuk menghormati tata-tertib dan perundangan-perundangan yang diberlakukan untuk pergaulan antar bangsa.

5. Hubungan antar negara/bangsa tidak selalu berakibat baik.

OTONOMI DAERAH, TRANSMIGRAN DAN HUKUM ADAT

1. Otonomi Daerah perlu mengatur secara adil Ruang Publik. Artinya: pemerintah daerah perlu mengadakan pengaturan-pengaturan yang mengatasi kelompok-kelompok dalam wilayahnya, supaya semuanya berproses secara benar dalam bermasyarakat-berbangsa-bernegara. Pedoman Pancasila, Pembukaan UUD 1945, UUD 1945 dan semacam itu perlu dipakai sebagai sumber pengaturan-pengaturan.

2. Nilai-nilai Adat, yang bermacam-macam, perlu disinergikan secara baik dan benar oleh Pemerintah Otonomi Daerah, setelah membicarakannya dengan Ketua-ketua Masyarakat Adat dan dengan aneka pihak yang terkait. Dalam bermasyarakat-berbangsa-bernegara mereka di bawah perundangan/peraturan Negara/Pemerintah. Kepentingan umum harus mengatasi kepentingan pribadi-kelompok-golongan.

3. Pemerintah Daerah perlu mengarahkan semua pihak yang terkait, supaya proses integrasi antara para transmigran dengan penduduk-penduduk asli bisa terjadi secara lembut-baik-benar.

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA / BERKEPERCAYAAN

1) Secara prinsipial, berdasar ajaran Konsili Vatikan II, Gereja Katolik sangat setuju untuk terjadinya suasana hidup rukun-damai antar pemeluk-pemeluk Agama / Kepercayaan di Indonesia.

2) Salah satu caranya adalah bersama-sama menangani pengentasan penderitaan warga negara Indonesia, misalnya: mereka yang tertimpa bencana nasional, anak-anak jalanan, keluarga-keluarga yang tak mampu menyekolahkan anak-anak-nya ke Sekolah Dasar / Menengah, dan persoalan penderitaan kemanusiaan yang lain-lain, dsm.

3) Hal-hal yang menghambat usaha kerukunan tersebut antara lain:

a. Sistim katekese yang licik dari Agama-agama / Kepercayaan-kepercayaan tertentu;

b. Agama tertentu mengklaim diri sebagai Agama terbenar (selain dia adalah Agama kafir).

c. Campur tangan Pemerintah Pusat / Pemerintah Daerah yang membuat perundangan-peraturan tidak adil tentang perijinan pembangunan tempat ibadah. Perundangan-peraturan tersebut malah menyebabkan “ketidak-rukunan antar pemeluk Agama / Kepercayaan”.

d. Tidak seluruh warga negara Indonesia menerima Pancasila sebagai pedoman dasar bermasyarakat-berbangsa-bernegara.

e. Tidak adanya ahli-ahli tafsir modern yang ilmiah dan suci-murni jiwanya atas wahyu-wahyu dalam Agama / Kepercayaan.

f. Faham Agama dan Negara tak terbedakan / terpisahkan.

g. Tingkat pendidikan pendakwah / pemimpin Agama / Kepercayaan rendah.

h. Keterlatihan dialog sangat terbatas;

PARTAI-PARTAI POLITIK:

1. Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) telah memberikan pengarahannya, yang tidak memaksa, bahwa sebaiknya tidak mendirikan Partai dengan nama “Katolik”. Karena Gedung-gedung Gereja dan Lembaga-lembaga Karya milik Gereja / Biarawan-biarawati Katolik, yang tidak ikut politik praktis, dapat terkena dampaknya, apabila Partai yang menyandang nama Katolik tersebut berbuat kesalahan. Memang KWI hanya bisa sebatas menyampaikan anjuran. Karena kewenangan Gereja Katolik (KWI) lebih pada iman-moral. Sedang kewenangan Awam Katolik lebih pada kawasan politik praksis.

2. Anggota-anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD sebagian terbesar bukanlah orang-orang kaya, sehingga jabatan legislatornya itu dipakai juga untuk mencari keuntungan-keuntungan finansial diri / partainya. Maka tidak aneh, hasil survey KOMPAS menyatakan bahwa Parpol yang terkorup, kemudian Parlemen.

3. Dari sebab itu, para legislator tersebut berjuang lebih memberatkan kepentingan partai / diri daripada kepentingan wakil rakyat. Diperlukan keseimbangan yang benar dalam hal itu.

4. Propaganda Fide (Departemen Penyebaran Iman Kepausan Vatikan) (th.2002) menyerukan supaya umat Katolik berani merasul di bidang politik. Karena bidang politik termasuk salah satu bidang kerasulan Katolik.

5. Politik adalah seni menciptakan kesejahteraan umum seluruh rakyat. Jalannya ada seribu satu, misalnya: melalui Partai Politik, melalui LSM, melalui Lembaga Pendidikan, melalui mass media, dsm.

FORMALISME HIDUP AGAMA

1. Diperkirakan, sebagian terbesar para pemeluk Agama / Kepercayaan menghayati Agama / Kepercayaannya sebagai kewajiban peribadatan saja dan tak ada kaitannya dengan masalah-masalah hidup kongkrit sehari-hari. Akibatnya, tidak sedikit jumlah penjahat yang adalah pemeluk-pemeluk taat ritual Agama / Kepercayaannya.

2. Demikian pula tidak sedikit penjahat-penjahat politik - sosial -ekonomi -hukum - keamanan yang dalam hidup sehari-hari taat pada aturan-aturan formal peribadatan (ritus) Agama / Kepercayaannya.

3. Diperlukan pembaharuan paradigma: tak ada gunanya mencintai Allah, kalau tidak mencintai (membangun) sesama dan ciptaan-ciptaan Allah yang kelihatan di depan mata.

KESETARAAN JENDER:

1. Kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan merupakan nilai moral internasional yang sungguh baru. Akibatnya, perundang-undangan di pelbagai negara / bangsa, yang tersusun dalam konteks patriarkal, harus mulai ditinjau kembali dan disempurnakan dalam konteks kesetaraan martabat jender.

2. Lembaga Agama / Kepercayaan yang relatif dinamis (mis: Gereja Katolik), relatif akan lebih mudah menyesuaikan hukumnya dengan tuntutan nilai moral kesetaraan jender. Bagi Lembaga Agama / Kepercayaan yang relatif konservatif, relatif akan mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan kesetaraan martabat perempuan dengan laki-laki.

3. Sekedar contoh: dalam budaya China, anak laki-laki lebih bermartabat tinggi daripada anak perempuan; kesempatan pendidikan formal lebih leluasa diberikan kepada anak laki-laki daripada perempuan. Budaya Jawa: anak laki-laki diberi warisan, sedang anak perempuan tidak.

4. Nilai-nilai kesetaraan martabat jender harus mulai ditanamkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal.

TEGANGAN DASAR POLITIS RELATIF PERMANEN

1. Golongan Nasionalis, yang dipelopori Soekarno-Hatta, tetap mencita-citakan NKRI berdasar : Sumpah Pemuda (1928), Pembukaan UUD 1945, Pancasila dan UUD 1945. Negara kesatuan tersebut berbhinneka tunggal ika (kesatuan dalam pluralitas).

2. Golongan Agama Mayoritas berjuang tak kenal henti menginginkan Negara Indonesia yang memberlakukan syariat Agama mayoritas. Perjuangan frontal lewat DI / TII tidak berhasil. Taktik perjuangan, mulai sekitar tahun 1980, diganti dari frontal ke perjuangan lewat Konstitusi dan Budaya.

3. Hambatan-hambatan, khususnya yang dialami oleh golongan Kristiani dalam bidang keagamaan (kesulitan ijin mendirikan tempat ibadat), sosial-politis (karier profesi), ekonomi (kesempatan usaha), hukum (keadilan), keamanan (kenaikan karier militer / polisi), perlu dipahami dalam kerangka atau konteks “tegangan dasar politis relatif permanen” tersebut di atas.

4. Golongan Agama Mayoritas mampu berjuang terus menerus tanpa henti tersebut karena dibantu finansial dan lain-lain khususnya oleh Negara-negara Timur Tengah.

HAL-HAL PENTING UNTUK KEMAJUAN NEGARA / BANGSA

1. Negara kesatuan demokratis daripada negara Theokratis.

2. Negara berpemerintahan baik dan bersih.

3. Mutu pendidikan nasional tinggi.

4. Pembangunan berdasar realitas-realitas kekayaan alam yang ada - dimiliki.

5. Mutu kerjasama tinggi antara Legislatif - Yudikatif - Eksekutif.

6. Berpegang teguh pada Pembukaan UUD 1945, Pancasila dan UUD 1945 untuk dioperasionalkan.

7. Negara Hukum benar-benar ditegakkan.

8. Keterbukaan pemerintahan yang bercorak membangun.

9. Kerjasama positif dengan bangsa-bangsa lain.

10. Betul-betul memanfaatkan sains dan teknologi.

11. Menghargai waktu.

12. Berjiwa kerja keras.

13. Menjunjung tinggi tanggung jawab.

14. Berkemauan untuk bertindak hebat.

15. Berdisiplin tinggi.

16. Bekerja keras untuk dapat menabung dan berinvestasi.