21 Februari, 2009

Seruan Bersama PGI dan KWI Dalam Rangka Pelaksanaan PEMILU 2009

span.fullpost {display:none;} Saudara-saudara terkasih di dalam Yesus Kristus, span.fullpost {display:inline;}
  1. Kita patut menaikkan syukur ke hadirat Allah dalam Yesus Kristus, oleh karena atas anugerahNya bangsa dan negara kita dapat mengukir karya di tengah sejarah, khususnya dalam upaya untuk bangkit kembali serta membebaskan diri dari berbagai krisis yang mendera sejak beberapa tahun terakhir ini. Anugerah, penyertaan dan bimbingan Tuhan bagi perjalanan sejarah negeri ini, sebagaimana yang terus menerus dimohonkan melalui doa-doa syafaat kita sebagai Gereja, adalah modal utama dan landasan yang amat kukuh bagi bangsa dan negara kita untuk berjuang lebih gigih dalam mencapai cita-cita proklamasi. Sejalan dengan itu Pemerintah dan seluruh komponen bangsa harus berupaya dengan lebih setia dan bersungguh-sungguh agar keinginan luhur bangsa sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sejahtera dan damai, dapat diwujudkan.Pemilihan Umum (Pemilu), baik untuk memilih anggota-anggota legislatif, maupun Presiden dan Wakil Presiden akan dilaksanakan pada bulan April dan Juli 2009. Persiapan-persiapan pelaksanaannya telah dimulai sejak beberapa waktu yang lalu melalui proses penyusunan perangkat perundang-undangan, pendaftaran dan verifikasi partai-partai politik calon peserta Pemilu, serta pencalonan bakal anggota-anggota legislatif dan berbagai persiapan lainnya.Undang-undang Pemilu kali ini mensyaratkan beberapa hal baru dan mendasar yang sangat perlu difahami oleh seluruh anggota masyarakat. Untuk mengawal proses Pemilu yang penahapannya sangat panjang dan mengandung beberapa ketentuan baru, kami mengajak seluruh umat kristiani untuk mempelajari aturan perundang-undangan itu dengan cermat dan cerdas agar keterlibatan dalam Pemilu sungguh-sungguh menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas dan memiliki tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup bangsa Indonesia bahkan mampu melahirkan pemimpin yang benar-benar memiliki wibawa karena didukung sepenuhnya oleh rakyat.Mengingat pentingnya peristiwa nasional ini, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) dan Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (Presidium KWI) menyampaikan Seruan Bersama bagi umat kristiani baik yang ada di Tanah Air maupun yang berdomisili di luar negeri.
  2. Kami memahami bahwa pelayanan Gereja pertama-tama adalah sebagai tanda kasih Allah bagi umat manusia. Politik adalah salah satu bidang pelayanan yang seharusnya juga ditujukan bagi perwujudan kasih Allah itu. Kasih Allah itu kian nyata dalam upaya setiap warga mengusahakan kesejahteraan umum. Alkitab menyatakan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Bdk.Yeremia.29:7). Karya seperti itu dijalankan dengan mengikuti dan meneladani Yesus Kristus, Sang Guru, Juruselamat dan Tuhan, yang secara khusus menyatakan keberpihakan-Nya terhadap kaum yang kecil, lemah, miskin, dan terpinggirkan. Dalam semangat mendasar ini Gereja mendukung pelaksanaan Pemilu yang berkualitas, yang akan menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pejabat-pejabat pemerintah yang benar-benar memiliki kehendak baik untuk, bersama seluruh rakyat Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum.Atas dasar pertimbangan di atas kami mohon, hal-hal berikut diperhatikan dengan saksama: Pertama, perlu disadari bahwa melalui peristiwa Pemilu hak-hak asasi setiap warganegara di bidang politik, diwujudkan. Oleh karena itu setiap warga negara patut menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab dan dengan sungguh-sungguh mendengarkan suara hati nuraninya. Bagi rakyat, Pemilu pada hakikatnya adalah sebuah proses kontrak politik dengan mereka yang bakal terpilih. Tercakup di dalamnya kewajiban mereka yang terpilih untuk melayani rakyat, dan sekaligus kesediaan untuk dikoreksi oleh rakyat. Keinginan dan cita-cita bagi adanya perubahan serta perbaikan kehidupan bangsa dan negra dapat ditempuh antara lain dengan memperbarui dan mengubah susunan para penyelenggara negara. Sistem Pemilu yang baru ini membuka peluang untuk mewujudkan cita-cita perubahan dan perbaikan itu, dengan memilih orang-orang yang paling tepat. Alkitab menyatakan: “…pilihlah dari antara mereka orang-orang yang cakap, setia, dan takut akan Tuhan, dipercaya dan benci pada pengejaran suap…” (Bdk.Keluaran.18:21). Kedua, masyarakat perlu didorong untuk terus-menerus mengontrol mekanisme demokrasi supaya aspirasi rakyat benar-benar mendapat tempat. Sistem perwakilan yang menjadi tatacara pengambilan keputusan ternyata sering meninggalkan aspirasi warga negara yang diwakili. Hal ini disebabkan karena para politisi wakil rakyat itu dalam pengalaman empirik ternyata tidak mampu secara optimal mewujudkan keinginan rakyat bahkan mengingkari janji dan komitmen mereka. Tindakan mereka tidak dapat dipantau sepenuhnya oleh rakyat bahkan tidak sedikit dari mereka yang ingin terpilih, beranggapan bahwa dengan jabatan itu mereka akan memperoleh keuntungan. Ketiga, hasil-hasil Pemilihan Umum harus benar-benar menjamin bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tetap dipertahankan sebagai dasar negara dan acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Pemilihan Umum seharusnya memberikan jaminan bagi kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia, jaminan pelaksanaan kebebasan beragama, terwujudnya pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.Hasil-hasil Pemilihan Umum harus menjamin terwujudnya kehidupan politik yang makin demokratis, pembangunan yang menyejahterakan rakyat, adanya kepastian hukum dan rasa aman dalam kehidupan masyarakat.
  3. Kita mengambil bagian dalam Pemilihan Umum sebagai warga negara yang bertanggungjawab dan sekaligus sebagai warga Gereja yang taat kepada Tuhan. Dapat saja terjadi bahwa didalam suatu Jemaat atau Gereja, terdapat anggota-anggota yang berdasarkan hati nurani dan tanggungjawab masing-masing menerima pencalonan diri dan atau menjatuhkan pilihannya kepada kekuatan-kekuatan sosial politik yang berbeda-beda. Dalam hal demikian, maka pilihan-pilihan yang berlain-lainan itu yang dilakukan secara jujur, tidak boleh mengganggu persekutuan dalam Jemaat dan Gereja; sebab persekutuan dalam Jemaat atau Gereja tidak didasarkan atas pilihan politik yang sama, melainkan didasarkan atas ketaatan terhadap Tuhan yang satu. Dalam upaya menjaga netralitas dan obyektifitas pelayanan gerejawi maka pimpinan Gereja/Jemaat tidak dapat merangkap sebagai pengurus partai politik. Amanat Tuhan agar umatNya menjadi garam dan terang dunia, dapat dijalankan dalam wadah kekuatan-kekuatan sosial-politik yang berlain-lainan sesuai dengan hati nurani dan pilihan yang jujur dari masing-masing anggota jemaat dan gereja. Para warga Gereja yang melayani kepentingan rakyat dan negara melalui wadah-wadah yang berlainan harus selalu saling mengasihi dan hormat-menghormati, sebab mereka semuanya membawa amanat yang sama, yaitu untuk “berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah” (Bdk.Mikha. 6: 8).
Demikianlah Seruan Bersama kami, kiranya Tuhan Allah, akan senantiasa memberkati bangsa kita dalam menapaki hari-hari cerah di masa depan. Semoga Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kita berkenan menyelesaikannya pula (bdk. Filipi 1:6)
Jakarta, Oktober 2008
Majelis Pekerja Harian PGI
&
Konfrensi Wali Gereja Indonesia
Ketua Umum PGI :
Pdt. Dr. A.A Yewangoe
Ketua KWI :
Mgr.MD Situmorang, OFM.cap
Sekretaris Umum PGI :
Pdt. Dr. Richard M Daulay
Sekretaris Jendral KWI :
Mgr. A.M Sutrisnaatmaka,MSF

19 Februari, 2009

Data caleg Katolik Pemilu 2009 Kevikepan Surakarta

  1. Veronila Endang Tri Purwaningsih
    St. Yohanes Rasul Wonogiri
    PIS Wonogiri I
  2. Paulus Haryoto, Drs.
    San Inigo Dirjopuran Surakarta
    PDIP
  3. Yohannes Herry Sulistyo
    PKDI Boyolali I
  4. Skolastika Retno Murdiyatmi, SH
    St. Yohanes Rasul Wonogiri
    PDIP Wonogiri II
  5. Stephanus Yusup Utadi Hadisasongko
    St. Yohanes Rasul Wonogiri
    PNI Marhaenisme Wonogiri III
  6. Melkior Annang Wibowo Sulistyo
    St. Yohanes Rasul Wonogiri
    Demokrat Wonogiri II
  7. Maria Demetria Sri Sayekti, Bc. HK
    St. Yohanes Rasul Wonogiri
    Golkar Wonogiri IV
  8. Dian Nusandari
    Surakarta
    PNBKI
  9. Himawan Argo Prakoso, ST
    Surakarta
    himawanargo@yahoo.co.id
    PNBKI Dapil Jebres
  10. Robertus Ralo
    St. Yohanes Rasul Wonogiri
    Demokrat Wonogiri I
  11. Ignatius Kasidi
    St. Yohanes Rasul Wonogiri
    PDIP DP I
  12. Tuti Andriani, Dr.
    PKDI Boyolali I
  13. Christophorus Edy Martono
    St. Yusuf Pekerja Gondangwinangun Klaten
    PDP Klaten II
  14. Bernardus Wahyu Nugroho, ST
    St. Theresia Jombor
    Hanura Klaten V
  15. Fransiscus Asisi Abiyanto Tri Nugroho, SE
    St. Theresia Jombor
    ab_riyanto@yahoo.com
    Demokrat Klaten V
  16. Cornelius Sunar Nugroho, Ir.
    St. Theresia Jombor
    Demokrat Jateng V
  17. Cyprianus Widodo Hadi Ismoyo, Drs
    Roh Kudus Kebon Arum Klaten
    PDIP Klaten II
  18. Thomas Eko Prasetyo, SE
    Gondowinangun Klaten
    PDIP Klaten II
  19. Herry Sanyoto
    PDIP
  20. Adriana Venny Aryani
    DPR RI Partai Demokrat, Dapil Jateng 4
    venny.lp2@gmail.com

12 Februari, 2009

Kericuhan mewarnai aksi unjuk rasa ratusan mahasiswa di Kupang, Nusa Tenggara Timur


Dalam aksinya pada hari kamis 12 Februari 2009, mahasiswa menolak jadwal pemilu, yang bertepatan dengan Hari Raya Paskah, yang dirayakan umat kristiani. Kericuhan berlangsung saat ratusan mahasiswa Universitas Widya Mandira Kupang, berupaya untuk menerobos masuk ke kantor gubernur NTT.Upaya mahasiswa ini mendapat perlawanan dari petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang dibantu aparat kepolisian. Situasi sempat memanas saat beberapa mahasiswa pendemo ditangkap karena berbuat anarkis. Dalam orasinya, mahasiswa meminta agar pemerintah dapat mengubah jadwal pemilu pada 9 April mendatang. Karena pada hari itu umat kristiani sedang merayakan Paskah, dan pemerintah seharusnya menghormati hak umat beragama. Mahasiswa memberikan waktu sepekan bagi pemerintah untuk mengubah jadwal pemilu. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, mahasiswa mengancam akan kembali berunjuk rasa dan menduduki kantor gubernur NTT.(RIZ)
dikutip dari : Metrotvnews.com, Kupang

06 Februari, 2009

Undangan Acara Wawanhati dengan Caleg DPR RI

Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Kota Surakarta
mengundang Umat Katolik Kavikepan Surakarta
dalam acara
WAWANHATI DENGAN CALEG DPR-RI
dengan tema
"MEMBANGUN HABITUS BARU DALAM KINERJA PARLEMEN DI INDONESIA DENGAN MENDASARKAN PADA BUDAYA BANGSA INDONESIA YANG MENGHARGAI KEBERAGAMAN MASYARAKATNYA".
yang akan dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal :
Minggu, 8 Februari 2009
Waktu :
Pk. 10.00 s/d 13.00 WIB
Tempat :
Aula Gedung Non Medik RS Brayat Minulya Surakarta
Jl. Setiabudi, Surakarta

Narasumber :
Erros Djarot
Ketua Umum Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia (PNBK)

Drs. Aria Bima
Caleg dari Partai Demokrasi Indonedia-Perjuangan (PDI-Perjuangan)

Paulus Pangka
Caleg dari Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)

Dita Indah Sari
Caleg dari Partai Bintang Reformasi (PBR)

panelis :

Rm. Raymundus Sugihartanto, Pr.
Koordinator Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan
Keuskupan Agung Semarang

Ign. Agung Satyawan
Dosen FISIP UNS

Maria Ruwi Astuti
tokoh perempuan

P. Bambang Ary Wibowo
Ketua Forum Masyarakat Katolik Solo

PRESS RELEASE FMKI SURAKARTA

“MINIMNYA JEJAK REKAM CALEG,
SULITKAN PEMILIH TENTUKAN PILIHANNYA”


Minimnya jejak rekam Calon Legislatif tahun 2009 menjadikan informasi kepada pemilih sangat kurang. Sehingga untuk mengharapkan pemilih dapat menentukan pilihannya dengan cerdas masih jauh dari harapan.
Oleh sebab itu Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Kota Surakarta mencoba untuk memfasilitasi dalam bentuk Wawanhati antara Calon Legislatif (Caleg) dengan umat Katolik di Daerah Pemilihan (Dapil V) umumnya dan Kota Surakarta khususnya. Adapun rencana kegiatan tersebut akan dilaksanakan pada hari Minggu pagi, 8 Februari 2009 di Aula gedung non-medik RS Brayat Minulya. Adapun narasumber yang akan hadir antara lain Erros Djarot (Ketua Umum PNBK), Dita Indahsari (Caleg PBR), Aria Bima (Caleg PDI-Perjuangan) dan Paulus Pangka (Caleg PKDI).
Selama ini masyarakat hanya mendapatkan informasi searah melalui kampanye para Caleg tanpa bisa mengetahui kemampuan dan kapabilitas dari Caleg-Caleg tersebut. “Hal inilah yang menjadi perhatian utama dari FMKI agar masyarakat tahu bagaimana kemampuan para caleg tersebut,” ungkap P. Bambang Ary Wibowo Ketua FMKI kota Surakarta. “Biarlah nanti masyarakat yang menilai apakah mereka memang pantas menjadi wakil mereka.”
Sebagai pelaksana dari Hierarki Gereja Katolik di Keuskupan Agung Semarang dalam bidang sosial politik kemasyarakatan, maka FMKI mencoba menggagas kegiatan yang tujuannya memberikan dialog dua arah antara Caleg dan konstituennya. “Bagi gereja terbuka untuk semua Caleg guna memberikan pandangan mereka dalam menjalankan roda ketatanegaraan di Indonesia,” ungkap Ketua FMKI Solo ini. “Siapapun yang berkehendak baik dengan mengedepankan keberanekaragaman bangsa ini, silakan saja untuk nantinya bekerja sama dengan gereja dn umat Katolik.”

Memilih dengan Cerdas

Berkaitan dengan fenomena “Golput”, FMKI sebagai bagian dari hierarki Gereja Katolik di Keuskupan Agung Semarang berpedoman bahwa gereja mendorong agar umat katolik untuk menggunakan haknya dengan sebaik-baiknya. “Gereja mendorong umat untuk memilih dengan cerdas, merdeka dengan hati nurani serta bertanggung jawab terhadap pilihannya tersebut,” ungkap Ketua FMKI ini. “Bagi gereja Golput merupakan fenomena yang hidup di tengah masyarakat dan merupakan bagian dari aktualisasi politik yang tidak bisa dihindarkan.”
Justru Gereja Katolik jelas tidak akan mendukung partai politik yang dalam pelaksanaan hari pemungutan suara tidak mengedepankan asas demokrasi dengan memberikan kemerdekaan memilih bagi siapapun. “Kami tidak akan memberi dukungan terhadap Parpol yang membuat sistem keharusan untuk memberikan suara kepada salah satu calon saja, karena bertentangan dengan pedoman dan prinsip gereja yang menghargai hak dan pendapat yang berbeda.”

KPU Harus Tegas

Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Kota Surakarta meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Surakarta membuat aturan yang tegas dan jelas tentang aturan kampanye. Permintaan ini menyusul banyaknya pelanggaran-pelanggaran kampanye yang dilakukan di lingkungan tempat ibadat maupun tempat pendidikan.
“Kami menemukan adanya pelanggaran penyebaran tanda gambar di dalam lingkungan gereja oleh salah satu caleg yang kasusnya sudah dilaporkan kepada pihak Panwaslu Kota Surakarta,” ungkap Ketua FMKI Kota Surakarta.
“Kami minta KPU untuk berkoordinasi dengan Pemkot guna membuat aturan yang tegas berapa radius dari dekat tempat ibadat maupun tempat pendidikan yang tidak diperbolehkan untuk penyebaran tanda gambar atau atribur parpol dan caleg,” ujar Ketua FMKI Kota Surakarta ini lebih lanjut. “Kami dalam hal ini Gereja dan Umat katolik tidak bisa berbuat apa-apa saat mereka menyebarkan persis di depan pintu halaman gereja pada saat selesai perayaan misa pada hari Minggu dan hal itu sebenarnya sangat mengganggu.”
Bagi gereja Katolik sebenarnya terbuka bagi siapapun untuk memperkenalkan diri dalam rangka kampanye, tetapi tetap mengedepankan aspek etika berpolitik. Bahkan FMKI Kota Surakarta sendiri kerja sama dengan Penghubung Karya Kerasulan dan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Semarang (PK4AS) Koordinator Kevikepan Surakarta akan meyediakan ruang bagi para caleg untuk bertemu dengan umat Katolik di Kota Surakarta. “Silakan para caleg mempergunakan media wawanhati dengan umat Katolik untuk menyampaikan visi dan misinya,” ujar P. Bambang Ary Wibowo, SH yang juga selaku Koordinator PK4AS Kevikepan Surakarta ini. (PR/FMKI).


---- o0o ----

04 Februari, 2009

KATAKESE POLITIK : REALISTISKAH...???

oleh: YR. Edy Purwanto Pr
Sekretaris Komisi Kerawam KWI

Katekese (dari ‘katekeo’: mengajar secara lisan, memberitahu; Yunani) dianggap oleh Gereja sebagai salah satu tugasnya yang terpenting (Yohanes Paulus II) dan berdasarkan penugasan Kristus kepada para Rasul dan pengganti-pengganti mereka “mengajar segala bangsa melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:20). Gereja menjalankan tugas ini dalam pewartaan umum dan dalam katekese (A. Heuken SJ, dalam Ensiklopedi Gereja, jilid 4, hlm. 46, CLC Jakarta 2005).
Dalam Nomor 13 “Catechesi Tradendae” (Paus Paulus VI, 1977) dikatakan: “Katekese erat hubungannya dengan seluruh hidup Gereja. Bukan hanya penyebarluasan Gereja secara geografis dan pertumbuhannya, melainkan juga dan bahkan terutama perkembangan rohani umat sesuai dengan rencana ilahi, sangat tergantung dari katekese”.
Pernyataan Bapa Suci tersebut dapat dijadikan titik tolak memahami katekese dalam artinya yang sempit, luas dan sangat luas. Dalam arti sempit, tugas katekese adalah mengupayakan perkembangan rohani umat khususnya anggota baru Gereja. Usaha penerusan iman kepada anggota baru Gereja ini merupakan tugas paling lazim dari katekese itu.
Dalam arti luas dan sangat luas, katekese dapat digambarkan sebagai kegiatan berikut:
  1. membuat orang memahami sabda Allah, yaitu Kitab Suci, dan mengikuti Yesus Kristus, yang adalah Sabda Allah yang hidup di dalam Gereja dan memimpinnya.
  2. membuat orang sanggup ikut merayakan ibadat Gereja, khususnya Ekaristi dan Sakramen-sakramen lain.
  3. membantu orang mengamalkan iman dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan.


Pada pokok ketiga dari tujuan kegiatan katekese inilah katekese politik mendapatkan tempat untuk berpijak bahwa cita-cita itu mungkin dan bukan merupakan ide liar yang “ngoyo-woro” (mengada-ada atau diada-adakan). Hal itu menjadi kian mendesak dan relevan di tengah hingar-bingarnya masalah perpolitikan di Negara Indonesia ini.

I. PANGGILAN AWAM UNTUK MERASUL

  1. Dasar Panggilan Untuk Merasul
    Semua awam, yang terhimpun sebagai umat Allah dan berada dalam satu Tubuh Kristus di bawah satu kepala, tanpa kecuali dipanggil untuk menyumbangkan senegap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus-menerus. Dengan baptis dan krisma (penguatan) semua ditugaskan oleh Tuhan sendiri untuk kerasulan itu. Kaum awam dipanggil untuk menghadirkan dan mengaktifkan Gereja di tempat dimana mereka berada (bdk. LG 33).
    Secara lebih terinci, dekrit tentang Kerasulan Awam (Apostolicam Actuositatem) nomor 6 menguraikan tentang panggilan kerasulan yang harus diemban oleh kaum awam sebagai memiliki tujuan berikut:
    a. Mewartakan Injil
    Memaparkan warta tentang Kristus kepada dunia dengan kata-kata (verbal) maupun dengan perbuatan (non-verbal), dan untuk menyalurkan rahmat-Nya. Pewartaan dengan kata-kata menjadi penting. Bagi yang tidak/belum beriman pewartaan itu berperan mengantar mereka kepada iman; sedang bagi mereka yang sudah beriman pewartaan itu berfungsi mengajar dan meneguhkan serta mengajak dan menyemangati mereka untuk hidup dengan semangat yang lebih besar.
    b. Menyucikan Umat Manusia
    Penyucian umat manusia ini lebih berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia zaman ini: kesesatan-kesesatan yang menghancurkan agama, yang mengacaukan tata kesusilaan, dan yang memporak-porandakan bangunan/tata susunan masyarakat.
    c. Pembaruan Tata Dunia
    Kaum awam wajib menerima pembaruan tata dunia sebagai tugasnya yang khusus, dan dibimbing oleh cahaya Injil dan maksud-maksud Gereja serta didorong oleh kasih kristiani bertindak langsung dan mengupayakan agar tata dunia ini diperbarui terus-menerus.
    d. Menjalankan Amal Kasih
    Amal kasih yang merupakan bukti nyata dari karya menyucikan dunia harus ditingkatkan guna menjawab kebutuhan manusia yang paling elementer atau dasariah: makanan, minuman, pakaian, perumahan, obat-obatan, pekerjaan, pendidikan, sarana ibadah, dll.
    Karena kaum awam mengemban tugas perutusan Gereja dengan cara mereka sendiri, dengan ciri istimewa dari sifat sekuler (keduniaan) serta corak hidup rohani yang khas bagi status awam, maka pembinaan kerasulan awam dititik-beratkan pada hal-hal sebagai berikut (bdk. AA 29):
    a) Pembinaan manusiawi yang utuh. Pembinaan ini harus disesuaikan dengan watak-perangai serta situasi-situasi masing-masing. Sebab seorang awam, yang mengenal dunia zaman sekarang dengan baik, harus menjadi anggota yang sungguh berintegrasi dalam masyarakat serta kebudayaan sendiri.
    b) Pembinaan rohani yang mendalam. Hal ini menjadi penting karena seorang awam hendaknya pertama-tama belajar menjalankan perutusan Kristus dan Gereja, dengan hidup dari iman akan misteri ilahi penciptaan dan penebusan, lagi pula digerakkan oleh Roh Kudus yang menghidupkan Umat Allah, dan yang mendorong semua orang untuk mencintai Allah Bapa dan dunia serta orang-orang dalam Dia. Pembinaan itu harus dipandang sebagai dasar dan syarat setiap kerasulan yang subur.
    c) Pendidikan pengetahuan yang tangguh. Pembinaan di bidang ini meliputi bidang teologi, etika dan filsafat, sesuai dengan usia, situasi hidup dan bakat-kemampuan yang bermacam-macam. Lagi pula janganlah diabaikan pentingnya tingkat hidup budaya yang umum beserta pendidikan praktis dan teknis.
    d) Pembinaan berkomunikasi yang baik. Untuk memelihara hubungan-hubungan antar-manusia yang baik perlulah nilai-nilai sungguh manusiawi dikembangkan, terutama seni bergaul dan bekerja sama secara persaudaraan, dan mengadakan dialog.
    e) Pembinaan iman yang mendalam. Pembinaan untuk kerasulan tidak dapat hanya terdiri dari pengajaran teoritis melulu. Hendaknya awam setapak demi setapak dan dengan bijaksana, belajar memandang, menilai serta menjalankan segalanya dalam cahaya iman, melalui kegiatannya membina serta menyempurnakan diri bersama orang-orang lain, dan dengan demikian secara aktif memulai pengabdiannya kepada Gereja. Pembinaan itu selalu disempurnakan, karena pribadi manusia semakin menjadi dewasa dan karena perkembangan masalah-persoalan, dan menuntut mutu pengetahuan yang semakin tinggi serta kegiatan tang menanggapi situasi
  2. Dasar Panggilan Untuk Merasul di Bidang Politik
    Kutipan dari dekrit tentang Kerasulan Awam nomor 14 ini menjadi salah satu dasar utama bagi umat Katolik (khususnya kaum awam) untuk memberikan perhatian besar pada kerasulan politik di masyarakat. “Terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara, orang Katolik harus merasa dirinya bertanggungjawab untuk memajukan kesejahteraan bersama dalam arti kata yang sebenarnya. Mereka berusaha memperbesar pengaruh mereka, supaya perundang-undangan sejalan dengan hukum-hukum kesusilaan dan dengan kesejahteraan bersama”.
    Dasar tersebut masih bisa dilengkapi dengan seruan sebagaimana disampaikan oleh para Bapa Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes) nomor 75 berikut ini: ”Hendaknya diselenggarakan secara intensif pembinaan kewarganegaraan dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi generasi muda, supaya semua warganegara mampu memainkan peranannya dalam hidup bernegara. Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk mencapai keahlian politik, yang sukar sekaligus amat luhur, dan berusaha mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil”.
    Dari dua kutipan di atas menjadi jelas bahwa panggilan awam Katolik untuk terlibat di dalam bidang politik memiliki dasarnya yang kuat. Keterlibatan itu hendaknya dilaksanakan karena dua alasan pokok: pertama, terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara untuk memajukan kesejahteraan bersama (bonum publicum). Kedua, mengabdikan kecakapan dan bakatnya untuk berpolitik tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil bagi terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commune).
    Kutipan ini pantas direnungkan secara lebih mendalam oleh kaum awam Katolik: ”Hendaknya orang-orang Katolik, yang mahir di bidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum” (AA 14). Awam Katolik yang memiliki keahlian khusus di bidang politik didorong untuk ikut aktif dalam pergulatan politik praktis, sehingga mereka dapat menjadi garam dan terang bagi bidang kehidupan tersebut.

Mengapa Keterlibatan di Bidang Politik Menjadi Kian Penting?
Keterlibatan Gereja (khususnya awam Katolik) dalam bidang politik menjadi kian penting karena adanya masalah serius yang kita hadapi bersama sebagai bangsa, yaitu persoalan rusaknya keadaban publik (public civility). Salah satu kunci yang bisa digunakan untuk membuka pintu keruwetan bangsa sekarang ini adalah perbaikan di bidang politik.
Hanya kemauan politik yang baik (political will), khususnya yang dijalankan secara konsekuen oleh pemerintah, maka masalah-masalah bangsa yang dipotret oleh KWI melalui Nota Pastoral 2004 ”Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa – Keadilan Sosial bagi Semua, Pendekatan Sosio-Budaya” akan dapat diatasi/dipecahkan.
Problematik bangsa itu dideskripsikan dengan sangat bagus sebagai berikut: ”hidup kita sekarang ini telah menjadi begitu lemah, karena tidak ditata berdasarkan iman dan ajaran agama. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Perilaku lebih dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indera dan menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang dan kedudukan di tengah masyarakat. Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. Untuk memperoleh harta dan jabatan, orang sampai hati mengorbankan kepentingan orang lain, sehingga martabat manusia diabaikan. Uang menjadi terlalu menentukan jalannya kehidupan. Karena itu Indonesia hampir selalu gagal untuk memiliki pemerintahan yang bersih dan baik. Keadilan dan hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela, penyelenggara negara memboroskan uang rakyat. Semua itu membuat orang menjadi rakus dan kerakusan itu merusak lingkungan hidup dan dengan demikian orang tidak memikirkan masa depan” (NP KWI 2004, hlm 2-3).
Keterlibatan orang Katolik dalam dunia politik bangsa ini dilaksanakan bukan sekedar dipacu oleh fenomena politik yang kini sedang dijadikan primadona dalam hidup berbangsa dan bernegara, tetapi hendaknya didorong oleh kerinduan untuk ambil bagian dalam menciptakan tata hidup politik yang dijiwai oleh semangat serta nilai-nilai Injil demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Keterlibatan dilakukan karena ingin menghadirkan habitus baru di bidang politik. Dan pilihan itu diambil berdasarkan kesadaran sendiri akan tanggungjawab sebagai warga negara dan kesadaran itu tumbuh karena penghayatan iman Katolik yang kian mendalam.


II. POLITIK INDONESIA TERKINI

  1. Fenomena yang Mendominasi Perpolitikan Indonesia Saat Ini
    a. Korporatokrasi. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang rakyatnya telah dibodohi dan dipaksa untuk menerima pasar dan persaingan bebas. Hal ini dilakukan oleh para penguasa ekonomi politik dunia. Menjamurnya mal-mal dan pusat-pusat bisnis dengan alasan bagi kemajuan masyarakat atau penyesuaian dengan gerak dunia modern telah menjebloskan rakyat kepada pola hidup konsumeristis dan hedonistas. Sementara akibat lain dari korporatokrasi itu adalah semakin tidak dihargainya pola-pola ekonomi tradisional yang di Indonesia berbasis pada pertanian dan maritim.
    b. Partitokrasi. Pengendalian perjalanan roda perpolitikan di Indonesia masih akan sangat kuat dilakukan oleh partai-partai politik. Banyak kebijakan akan tetap berada di bawah bayang-bayang hegemoni partai-partai politik, khususnya partai politik besar (PDI-P, Golkar, PKB, PAN, PKS, PPP, Demokrat).
    c. Gelora Syariah. Aksi penegakan syariat Islam kini memasuki babak baru. Upaya itu tidak hanya bergerak dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tetapi sudah merambah di tingkat nasional baik di kalangan legislatif melalui upaya-upaya perumusan regulasi (UU dan PP) maupun eksekutif melalui proses-proses penetapan pejabat publik dan penentuan kebijakan departeman-departemen. Namur juga sebaliknya, bahwa gerakan itu kini bergerilya di basis-basis desa. Pendek kata, tantangan dari upaya-upaya menghadirkan kembali gagasan pembentukan negara Islam menguat kembali.
    Peta terapan syariat Islam itu ada pada: (1) fikih ibadah, baik yang bersifat wajib seperti zakat dan haji, maupun yang sunah seperti infak, sedekah, baca Alquran dan wakaf; (2) ahwal syahshiyah, yang meliputi hukum keluarga atau perdata tertentu seperti perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah; (3) fikih muamalat, yaitu aturan ekonomi-bisnis, transaksi jual/beli, persewaan, yang didasarkan pada prinsip Islam seperti anti riba; (4) pidana hudud, yang jenis dan sanksinya telah ditentukan Quran dan hadits, seperti zina, khamar, mencuri, membunuh, dll; (5) pidana qishash, yang sanksinya berupa balasan setimpal dengan perbuatan; dan (6) ta’zir, yang jenis kejahatan dan sanksinya ditentukan oleh penguasa dan bertujuan untuk pendidikan dan pembinaan, mislanya zina yang tak memenuhi bukti empat saksi, pornografi, dll.
    d. Kompleksitas Transisi. Reformasi yang sudah berjalan 10 tahun lebih ini masih tetap akan menghadapkan bangsa Indonesia kepada kompleksitas transisi yang antara lain nyata dalam hal-hal berikut ini: prinsip-prinsip demokrasi kalah dari pragmatisme (oportunisme) politik, kesejahteraan umum kalah dari kesejahteraan pribadi, solidaritas kebangsaan kalah dari etno/religio-sentrisme, integritas sosial terganggu, integritas teritorial terancam, masyarakat terabaikan, dan otonomi masyarakat tidak terberdayakan bahkan cenderung kehilangan peluang untuk menjadi kuat dan cerdas.
  2. Proyeksi Perpolitikan Indonesia ke Depan
    a. Kekerasan terbuka. Sampai dengan akhir tahun 2009 yang merupakan salah satu fase penentu berhasil tidaknya reformasi yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun ini, kekerasan terbuka akan menjadi warna perpolitikan di Indonesia. Kasus-kasus demonstrasi yang berakhir dengan bentrok antara aparat keamanan dengan demostran (kasus Unas Jakarta), maupun kekerasan horizontal (kasus FPI di Monas, 1 Juni) dan masih akan disusul kekerasan lain yang akan dilakukan oleh laxar-laskar jalanan. Di samping kekerasan terbuka juga terdapat kekerasan terselubung seperti kasus Lapindo dan juga penguasaan beberapa daerah tambang oleh asing yang sangat potensial meledakkan kekerasan terbuka.
    b. Krisis hidup berbangsa dan bernegara. Perpolitikan masih tetap akan diwarnai oleh krisis hidup berbangsa dan bernegara yang disebabkan oleh beberapa hal berikut ini: (1) Hilangnya kepercayaan bangsa terhadap pemimpinnya. Pemimpin seharusnya merupakan cerminan dedikasi akan rasa kebangsaan yang tinggi. Pemimpin musti menjadi contoh bagi rakyatnya. Kita sudah kehilangan figur yang betul-betul punya nilai kebangsaan yang tinggi. Dulu masyarakat punya banyak pilihan figur panutan, baik itu negarawan (Soekarno dll), teknokrat (Habibie dll), budayawan (Nurcholis Madjid dll), ulama (Aa Gym dll) bahkan olahragawan (atlet berprestasi). Semua itu menjadi panutan untuk maju. Namun saat ini, semua nampak gamang dan palsu. Semua itu nampak cuma advertisement partai dan masyarakat mulai pandai membaca hal tersebut hingga akhirnya hilang rasa hormatnya. (2) Hilangnya rasa memiliki bangsa ini karena pemerintahnya. Ada yang salah kaprah dari penilaian rakyat Indonesia terhadap negara ini, yaitu menyamakan pemerintah dengan negara. Kekecewaan akan pemerintah seharusnya jangan menjadi rasa benci terhadap negara ini. Negara ini sangat indah dan bagus, sayangnya pemerintah yang menjalankannya tidak indah dan bagus. Hal ini menyebabkan rasa ingin bebas dari kungkungan aturan dan kekuasaan pemerintah. Kompensasinya adalah ketidakpedulian. (3) Ada jarak kepedulian yang sangat lebar antara generasi tua dan generasi muda. Generasi muda kita saat ini adalah generasi yang lahir jaman kejayaan Soeharto. Generasi manis dan funky yang seru dan asik sama kegiatannya masing-masing. Keasikan ini makin menjadi mapan hingga di saat masa krisis pun mereka tidak mau ambil pusing, bahkan menyalahkan generasi tua sebagai ulahnya. Akibatnya, mereka merasa bahwa kerusakan dan keterpurukan bangsa ini akibat ulah para pelaku politik yang super bobrok. Bagi generasi muda (anak nongkrong MTV), mereka lebih suka asik dalam berkegiatan yang seru-seru, misalnya ikutan lomba jadi bintang, main sinetron, fashion, internet, game, hingga drugs. Sifat egois yang muncul beriringan dengan karakter pemberontak dari anak muda. (4) Lupa sejarah, egois dan pendendam. Bangsa ini seharusnya sudah menjadi bangsa yang besar. Bangsa yang punya rasa hormat yang tinggi. Namun sejak diberlakukan sistem pemilu terbuka dengan banyak partai, semua orang merasa dirinya adalah yang paling benar. Sifat curiga dan tidak percaya justru menjadi menjamur di antara para pemimpin dan negarawan. Saling sikut dan saling menjegal dengan mengatasnamakan "peduli bangsa". Rasa dendam pun makin mendarak. Kemajuan pembangunnan jaman Soeharto, Habibie, Gus Dur, atau Megawati seakan-akan tidak ada arti. Rasa ke-SAYA-an seakan menjadi TUHAN bagi bangsa ini.

III. MENUJU PEMILU 2009



  1. Hal-hal Baru Dalam Paket Undang-Undang Politik 2008
    Proses legislasi yang dilakukan oleh para wakil rakyat telah melahirkan Undang-undang Politik 2008, yaitu UU No. 2 / 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 / 2008 tentang Pemilu Legislatif, dan UU No. 18 / 2008 tentang Calon Perorangan sebagai revisi terbatas terhadap UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dua undang-undang yang masih ditunggu kehadirannya adalah UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPD RI dan UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang hingga kini masih berupa RUU dan sedang berada pada tahapan pembahasan di DPR RI.
    Paket UU Politik itu menawarkan statu pembaruan secara subtansial, namun sekaligus menghadapkan kita pada tantangan-tantangan yang harus ditanggapi melalui pilihan tindakan yang harus kita lakukan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
    a. Substansi
    o Pembaruan sistem pemilu dimaksudkan untuk penguatan sistem pemerintahan Presidensiil yang didukung Sistem Multi Partai Sederhana à bisa terwujud bila ada koalisi partai besar dan mengarah ke koalisi permanen.
    o Banyak Partai yang terkerucut pada Perwakilan Politik berbasis Partai Besar à dengan parliamentary threshold (PT) 2.5%.
    o Membuka peluang bagi penguatan embrio Parpol Lokal à yaitu Parpol Nasional yang kuat di Daerah.
    o Memberikan legitimasi perorangan sebagai wakil rakyat à dengan mempersyaratkan keterwakilan 30% calon perempuan dan ketentuan 30% BPP calon terpilih.
    o Cara Pemberian Suara mengandaikan pengenalan calon-calon legislatif secara lebih mendalam.
    o Terbuka peluang bagi tokoh alternatif Parpol à calon perorangan (DPD dan Pilkada)
    b. Tantangan
    o Parpol lama akan tetap mendominasi Pemilu 2009.
    o Parpol baru belum terlihat ber-performa sbg alternatif Parpol lama (baik dalam pengorganisasian maupun program-programnya).
    o Perpecahan PKB membuka kemungkinan eksodus pemilih ke Parpol Islam lainnya.
    o PKS menjadi pilihan utama pemilih muslim karena memberikan image yang baik terhadap umat Islam sebagai parpol yang tidak dipenuhi intrik politik.
    o Parpol lama dan PKS yang makin besar akan menguasai Parlemen (nasional maupun lokal)
    c. Apa yang harus dikerjakan?
    o Mendukung pencalonan tokoh-tokoh masyarakat dan perempuan di Parpol-Parpol yang baik (yang potensiil lolos parliamentary threshold di tingkat nasional).
    o Memastikan pilihan bahwa Parpol yang dipilih akan mampu memenuhi parliamentary threshold.
    o Memilih calon-calon yang baik dari Parpol yang baik (relatif).
    o Mendorong pemilih menentukan pilihan atas pertimbangan kualitas calon daripada “nama besar” Parpol.
    d. Apa makna pendidikan politik dalam konteks ini?
    o Membuka kesadaran umat dan masyarakat untuk terlibat dalam mengatasi tantangan Pemilu 2009.
    o Melihat dan memanfaatkan peluang untuk terlibat aktif dalam (mengatasi tantangan) Pemilu 2009.
    o Mengajak umat sebagai warga negara untuk menjadi pemilih yang aktif dan cerdas.
    o Mendorong umat menjadi “prime mover” (penggerak pertama dan utama) perubahan pola memilih masyarakat dari orientasi parpol ke orientasi kualitas tokoh/calon.
  2. Beberapa implikasi menyertai penjadualan proses Pemilu : pertama, masa kampanye akan berjalan sangat panjang. Artinya, terbuka peluang untuk benar-benar mengenali calon secara lebih dekat dan lebih mendalam. Tetapi semua itu tergantung mekanisme kampanye yang dipilih oleh calon yang bersangkutan. Kedua, pelaksanaan pemungutan suara pada hari Minggu hanya akan menganggu kekhusukan umat Kristiani beribadah dan bisa berakibat tidak optimalnya proses pelibatan warga masyarakat dalam memberikan suaranya. Maka harus ditempatkan pada hari di luar Jumat dan Minggu bila ingin lebih optimal dan menjadikan hari pemungutan suara sebagai hari libur nasional. Ketiga, para tokoh umat dan masyarakat Katolik harus semakin rajin mencari info dan data mengenai calon-calon yang ikut dalam pemilihan dan menyediakan ruang bersama untuk bertemu antara para calon-calon tersebut agar bisa mengatur strategi bersama agar suara tidak mubazir mengingat waktu yang tersedia relatif panjang.

IV. IMPLIKASI BAGI PENGEMBANGAN KATEKESE POLITIK

  1. Pembelajaran Politik Umat Katolik
    Gereja Katolik senantiasa menyebutkan bahwa dirinya bukan suatu institusi atau lembaga politik, walaupun peran dan kehadirannya memiliki muatan politis. Oleh karena itu Gereja tidak pernah memiliki suatu program politik tertentu. Tataran hidup Gereja ada di bidang moral dan iman. Kedua bidang itu memiliki dimensi dan konsekuensi politis. Namun demikian, politik yang dimaksud bukan politik kekuasaan, sebagaimana digeluti oleh para politisi Katolik. Kalau toh suatu ketika Gereja memberikan pernyataan yang memiliki dimensi politis, lingkupnya tetap ada dalam bidang moral.
    Pembelajaran politik umat Katolik mempunyai beberapa tujuan lebih praktis:
    Pertama, bagi mereka yang berminat terjun dalam politik praktis dan memiliki kemampuan untuk berpolitik praktis; pembelajaran ini dimaksudkan agar mereka semakin menyadari bahwa menjadi politisi adalah suatu panggilan, yaitu panggilan untuk melayani sesama. Melalui pembelajaran bersama sangat diharapkan lahir politisi-politisi yang memiliki integritas pribadi, yang tercermin dalam kompetensi dalam keterlibatan dan moralitas diri yang solid, serta penggunaan kekuasaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
    Kedua, bagi umat pada umumnya, pempelajaran politik dimaksudkan untuk semakin membangun dan menumbuhkan kesadaran atas tugas dan panggilannya mencintai bangsa dan negaranya. Demikian juga agar umat semakin menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Umat diharapkan semakin melek politik supaya bisa ikut serta mengawal terwujudnya prinsip-prinsip politik berikut ini: (1) kebijakan dan kegiatan politik harus menunjang kesejahteraan bersama seluruh rakyat, maka yang bertentangan dengannya adalah jahat; (2) politik harus dijalankan sebagai penghormatan terhadap martabat setiap manusia dari rakyat yang membentuk negara itu, orang tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik apa pun; (3) politik harus dijauhkan dari praktek yang diskriminatif baik atas dasar keyakinan agama dan kepercayaan, ras dan keturunan, jenis kelamin dan status sosial, maupun keyakinan politik dan ideologi, setiap warga bangsa berhak ambil bagian dalam perencanaan dan penentuan kebijakan publik; (4) politik harus semakin menyadarkan bahwa negara bukan tujuan an sich melainkan hanyalah sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat, maka masyarakat bersifat primer dan negara bersifat sekunder; oleh karena itu kegiatan politik tidak boleh memperbudak lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berifat primer, seperti keluarga, organisasi kebudayaan dan keagamaan, dll.
  2. Pembelajaran Politik Mulai Usia Dini
    Pembelajaran politik sejak usia dini bisa dilakukan dengan beberapa cara: (a) memperkenalkan kepada anak-anak tokoh-tokoh dan pahlawan-pahlawan bangsa yang memiliki dedikasi dan komitmen kuat dalam membela dan mengembangkan bangsanya; (b) memperkenalkan pola-pola berpolitik yang sehat dengan melakukan simulasi-simulasi kecil dan sederhana mengenai hidup berbangsa dan bernegara serta pola-pola pelaksanaan politik praktis; (c) membentuk kelompok basis di kalangan kaum muda untuk mendiskusikan hal-hal yang menyangkut perkembangan problematik sosial kemasyarakatan sehingga kaum muda kita tidak tertinggal dari kaum muda komunitas agama lain; (d) menerbitkan buku-buku komik pendidikan nilai yang arahnya kepada pendidikan politik bagi anak-anak.
  3. Redefinisi Wawasan Kebangsaan
    Semakin mendesak untuk dilakukan perumusan ulang tentang konsep wawasan kebangsaan dan pendidikan mengenai hal tersebut. Hal itu sangat penting karena krisis yang dialami, khsusunya di kalangan kaum muda, sangat kuat. Rasa ke-Indonesia-an perlu digugah atau dibangunkan kembali.
    Memudarnya rasa keindonesiaan terjadi karena pendangkalan dalam memaknai Sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Prof. Dr. M. Sastrapratedja SJ, menyatakan bahwa pendangkalan ini menghambat—dan nyaris menghentikan—proses pemberadaban (civilizing process) dalam diri bangsa kita. Penghambatan proses pemberadaban ini menggerogoti kemampuan kita untuk mengatur perilaku, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan melawan diri sendiri. Hilangnya kemampuan mengendalikan dan mengatur diri bisa membuat kita membinasakan diri sendiri.
    Menyikapi keprihatinan yang sangat mendalam itu maka sangat mendesak proses penyegaran kembali wawasan kebangsaan di kalangan umat Katolik khususnya dan masyarakat pada umumnya
  4. Keterlibatan Mendesak yang Harus Dilakukan Gereja
    Yang mendesak harus dilakukan Gereja Katolik Indonesia menyikapi kondisi bangsa adalah: (a) menguatkan akar ideologi bangsa yaitu Pancasila; (b) ambil bagian untuk membenahi peradaban bangsa dengan mewujudkan habitus baru mulai dari dalam Gereja sendiri.

Penutup
Demikianlah beberapa catatan seputar perlunya pendidikan politik dalam dan melalui katekese. Semoga catatan ini mengingatkan kita akan ungkapan tersohor dari Presiden Amerika ke-35 yaitu John F. Kennedy pada pidato pelantikannya tanggal 20 Januari 1961: “Ask not what your country can do for you – Ask what you can do for your country” (Jangan bertanya apa yang dapat dikerjakan negaramu untukmu – Bertanyalah apa yang dapat kamu kerjakan untuk negaramu).
Juga semangat Mgr. A. Soegijapranata SJ: menjadi 100% Indonesia, 100% Katolik atau Seratus Persen Warga Negara, Seratus Persen Warga Gereja. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa kekatolikan tidak hanya tidak pernah menghambat semangat nasionalisme, melainkan menguatkannya.
Semoga dengan rangsangan itu kita menjadi semakin peduli pada upaya-upaya pencerdasan dan pendewasaan politik umat.


Jakarta, 11 Juni 2008


02 Februari, 2009

PANGGILAN MASYARAKAT POLITIK KRISTIANI



oleh Rm. Y.B. Mangunwijaya, Pr.



Saudara-saudara terkasih. Semoga damai, rahmat, dan berkat Tuhan selalu menyertai Anda semua.

Kapan Satu Pendapat dan Kapan Bebas.

  1. Dalam bidang politik praktis, warga Gereja bebas untuk memilih jalan strategi serta taktik-taktik politik yang ia yakini. Oleh karena itu, yang saya ajukan di sini pun berpijak pada prinsip kebebasan itu. Tentulah kita tahu, kebebasan manusia, juga dalam bidang politik tidak mutlak. Tidak boleh kekiar dari rambu-rambu moral, etika, bahkan sopan santun berpolitik dan fair play yang dilandasi kemanusiaan yang adil dan beradab.
    Demikianlah seluruh Pancasila pastilah bagi kital dalam komunitas politik di Indonesia merupakan penjelmaan dan penjabaran moralitas, etika, sopan santun dan fair play sikap dan perbuatan politik, yang penuh syukur, kita terima sebagai panggung bersama berpolitik secara sehat, wajar, dan baik. Yang mengejawantahkan nilai-nilai kristiani, walaupun politik yang dapat mengklaim diri berciri kristiani tidak ada monopolinya.

  2. Meskipun bebas, ada baiknya kita dalam berpolitik berpedoman pada kearifan antik yang sudah teruji, dan sering diajukan oleh Bapak Uskup Pahlawan Nasional RI kita, Mgr. Albertus Soegijapranata alm.:
    IN PRINCIPIIS UNITAS : Dalam soal prinsip/asas/esensi, persatuan;
    IN DUBIIS LIBERTAS : Dalam hal-hal yang masih terbuka, kebebasan;
    IN OMNIBUS CARITAS : Dalam segala hal, kasih.
    Apakah kira-kira yang saat ini dan di hari mendatang tergolong esensi peijuangan? Dengan segala kerendahan hati saya ajukan beberapa perkara, yang saya akui belum tuntas lengkap, tetapi tidak menunjuk kepada yang paling pokok.

  3. Tentulah kedekatan dan solidaritas antara warga Kristiani yang satu dengan yang lain mudah dijalankan. Dan tanggungjawab kita tentang Gereja kita selalu ada dalam hati kita. Namun, perlu kita yakini dan akui, bahwa politik warga Kristiani tidak dimaksud sebagai sarana atau kendaraan untuk melebarkan sayap Gereja.
    Ekspansionisme dan proselitisme (serba cari bala) sudah bukan waktunya lagi. Tidak hanya berdasarkan perhitungan rasional, tetapi juga prinsipial. Kepada para warga Gereja, Mgr. Soegijapranata selalu berpesan dengan formulasinya yang tajam mengagetkan, "Tugas kalian bukan membaptisi orang, itu tugas Roh kudus, melainkan ikut menyumbangkan jasa agar Indonesia semakin menjadi negara dan masyarakat yang baik."
    Sekarang pun pesan itu bagi kita masih berlaku. Kita ingin berpartisipasi membuat negara dan negeri Indonesia baik, adil, makmur, manusiawi, dan beradab. Demi semua golongan dan kelompok masyarakat maupun semua dan setiap warga negara. Siapa pun, tanpa pandang bulu, suku, agama, ras, kekayaan atau kepandaian, tanpa diskriminasi apa pun. Bagi kita, perbedaan tidak pernah akan mengurangi persaudaraan.
    Pembagian Horizontal Secara Dinamis

  4. Namun, kita tidak ingin naif primordial sempit. Politik warga Kristiani tidak membuat pembagian-pembagian vertikal (suku, etnik, agama, dlL). Hanya yang horizontal antara yang baik dan buruk, antara yang bermoral dan tidak, antara yang mendukung Kerajaan Tuhan dan yang melawan Kerajaan Tuhan. Oleh kare-na itu, sangat mungkin antara orang Katolik dan Muslimin atau yang beragama lain terdapat suatu resonansi kesatuan sikap dan karya, karena memang serius berikhtiar sama-sama real konkret merealisasikan Kerajaan Tuhan, sedangkan hal itu bisa saja tidak tercapai antara mereka yang biar satu agama atau satu etnik, tetapi yang satu bermoral misalnya, sedangkan yang lain tidak.

  5. Dalam dunia politik, pembagian kawan dan lawan dilakukan secara tradisional dengan irisan vertikal, antara etnik, agama, ideologi, suku, dsb., bahkan antar-nasion. Akan tetapi, semakin dewasa kita akan sadar, bahwa bukan irisan vertikal melainkan yang horizontal-lah, pro atau anti Kerajaan Tuhan yang harus dijadikan tolok ukur, atau lebih tepat dan sederhana: bermoral atau tidak. Diterjemahkan di Indonesia, pro atau anti Pancasila.

  6. a. Namun jelaslah, bahwa pembagian horizontal itu tidak mungkin tajam, atau beku, dan tidak hitam putih. Banyak sekali persoalan yang tergolong in dubiis tadi Yang masih diragukan, yang belum jelas. Atau yang mengandung dilema-dilema sehingga sulit dikatakan ini betul, itu salah. Juga masalah-masalah yang terpaksa mendapat penyelesaian soal lewat prinsip minus malum (antarsekian keburukan, memilih yang paling kurang buruknya). Demikian juga, ada dua atau sekian kemungkinan pilihan yang bisa baik bisa buruk, tergantung dalam situasi dan kondisi apa, untuk atau oleh siapa dan bagaimana, dsb.
    b. Demikianlah dalam bidang politik ternyata relatif tidak banyak perkara dapat dikualifikasi esensial atau prinsipial yang memerlukan kesatuan sikap tegas pro atau kontra, misalnya politik yang mempunyai korban penjarah-an, pembakaran, perkosaan misalnya. Atau hal-hal yang begitu bugil kecurangan serta korupnya. Oleh karena itu, kita harus selalu politis, hal-hal apa yang sungguh-sungguh soal hakiki, yang amat prinsipial, yang memerlukan satu sikap satu bahasa. Bisa terjadi dalam soal-soal yang esensial itu pun orang masih berbeda pendapat. Maka, dialog atau brainstorming perlu sekali.

  7. a. Maka pentinglah dalam dunia politik yang bermoral, kita banyak berdialog, bahkan perlu dilatih perdebatan; saling menyumbang dan mengasah pikiran, ide, gagasan, sanggahan. Dialogis atau juga dialektis, menghargai dan membutuhkan antitesis lawan, justru untuk dibenturkan pada tesis kita masing-masing, demi pencapaian suatu kesimpulan sintesis yang lebih benar daripada semula.
    b. Harus diakui dalam banyak perkara, kesimpulan dari perbincangan dialog tidak bisa tercapai. Akan tetapi paling tidak, keputusan apa pun sesudah dialog memberi bobot dan kualifikasi tanggung jawab yang lebih tinggi. Begitulah politik bermoral adalah politik yang bertanggung jawab. Yang akhirnya mengacu pada kepentingan dan kesejahteraan umum. Tidak melulu hanya demi kepentingan golongan sendiri yang sempit.
    c. Maka perlu dirintis suatu budaya politik oposisi sehat atau loyal yang konsekuen mengindahkan hal-hal di atas itu.
    d. Sesudah kegagalan Orde Lama yang kelewat longgar dan Orde Baru yang terlalu memberangus, semoga di masa mendatang bangsa kita sudah lebih dewasa dalam percaturan politik yang sehat. Semoga pula masyarakat politik Kristiani tergolong perintis dalam penciptaan iklim dan suasana, di mana berlakulah kesepakatan berikut.
    · Berpendapat lain tidak berarti bermusuhan.
    · Berpendapat sama belum tentu berarti mendukung
    · Demi peningkatan kualitas pendapat diri sendiri diperlukan penda-pat yang melawan atau yang lain.
    · Maka, kebudayaan mendengarkan lawan dan meng-hayati motivasi serta genesis (asal usul) argumentasi lawan perlu disosialisasikan.
    · Kegotongroyongan dan musyawarah dalam dunia politik masih perlu, tetapi tidak dalam arti zaman dulu ketika keadaan belum kompleks seperti abad ke-21 yang menghendaki mekanisme dan gaya yang harus ditransformasi atau dimetamorfosa ke dalam bentuk-bentuk team work dan kombinasi sintetis arif antara musyawarah lama dan brainstorming, sharing, debat, voting, dsb.
    · Politik memang berkarya dan berjuang dalam duhia kekuasaan, tetapi bukan kekuasaan demi kekuasaan melainkan demi kepentingan dan kesejahteraan publik.
    · Kepentingan dan kesejahteraan golongan wajar diperjuangkan, tetapi kepentingan dan kesejahteraan bersama harus lebih diperjuangkan.
    · Perjuangan maupun pembelaan diri bersasaran kemenangan, tetapi selalu dalam kerangka fair play dan kesopanan politik yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
    · Maka, politik Pancasila tidak mengenai "perintah adalah perintah", baik atau buruk harus dilakukan.
    · Demikian pun tidak berlakulah: siapa kuasa dan kaya dia menang. Dan karena itu benar dan harus ditaati.
    · Kekalahan tidak dicari atau dibiarkan, tetapi bila moralitas dan etika sudah sampai dibatasi, maka dikalahkan adalah kehormatan.
    · Maka, politik berpedoman pada dan dibatasi oleh kerangka moral, etikajelasnya moral dan etika Pan­casila dalam percaturan yang dinapasi keadilan dan fair play.
    · Penjabaran Pancasila yang sej ati adalah perjuangan yang dinamis dan mengindahkan konteks dan situasi kondisi konkret. Itulah yang menentukan pro­gram-program operasionalnya yang bersifat relatif, namun prinsipial mutlak manusiawi.
    · Semua sila dari Pancasila merupakan keutuhan, na­mun setiap zaman menghendaki prioritas-prioritas kontekstual.
    · Rupa-rupanya, dalam era pasca-Soeharto yang perlu lebih diprioritaskan ialah yang berhubungan dengan sila ke-2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan sila ke-5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat In­donesia. Tanpa mengabaikan sila-sila lain yang tetap penting diperjuangkan dalam tafsirannya yang se-makin benar dan dewasa.

  8. Demikianlah politik adalah seni mencapai yang masih mungkin tercapai, namun sekaligus juga seni mempersiapkan atau mematangkan kondisi, sehingga jtarag pada suatu saat belum mungkin menjadi mungkin dan menjadi realitas. Dan sebagainya, dan seterusnya.

  9. Demikianlah pula, tujuan politik tidak menghalalkan segala jalan, seperti dalam dunia komunis, fasis maupun kapitalis liberal kolonial dan imperal (sekarang masih amat kuasa). Sebab, politik kita, yang alamiah berkarya dalam bidang kekuasaan juga dan selalu berikhtiar sekuat-kuatnya mencari kemenangan golongan maupun nasional pun, tetaplah politik Pancasila, artinya bermoral dan berhati nurani dengan rincian tersebut di atas.

  10. Maka sebenarnya, politik reformasi sekarang harus menuju ke proses transformasi: dari politik hukum rimba yang darwinistik siapa kuat-kuasa-kaya dia menang, dia benar, dia harus ditaati, ke iklim budaya poli­tik yang bermoral, etis dan fair play tadi. Dari pergulatan egoistis demi kepentingan golongan atau pribadi menjadi politik yang berkemanusiaan, adil dan beradab; dari bidang-bidang paling rendah sampai yang tertinggi seperti kehidupan religius, lebih khusus lagi bagi kita, hubungan kita dengan Tuhan dan sesama manusia dalam cahaya Kabar Gembira Yesus Kristus.

Saudari-saudara seiman, seharapan, dan secinta kasih kristiani.
Tugas kita ialah demi Indonesia abad ke-21 menuju ke iklim dan suasana masyarakat yang damai dan saling solider. Belajar dari pengalaman-pengalaman pahit di masa-masa yang lampau, dengan penuh iman dan harapan yang bersemangat dan optimis, kita harus menyusun suatu Indonesia Serba Baru, total baru (walaupun tentulah bertahap dan sistematis), yang meninggalkan segala kelaliman masa Soeharto.
Maka, agar kita tidak mengulangi lagi apa yang serba merajalela dalam Orde yang sudah (mulai) lam­pau itu, kita harus sadar ulang dahulu.

  • Atas motivasi dasar apa Republik Indonesia dulu diproklamasikan?
    Selanjutnya, kita harus melihat realis:

  • Bangunan Orde Baru terdiri dari komponen-komponen apa?

Motivasi Dasar Eksistensi Republik Indonesia
Republik Indonesia dirintis, diperjuangkan, dipro­klamasikan justru untuk membela dan mengangkat the underdogs bangsa kita. Tidak untuk memberi nikmat lebih banyak kepada kaun pribumi ataupun asing yang sudah atau mudah jaya. Demikianlah, pembaruan tuntas sekarang harus mengacu kepada motivasi dasar jnengapa Republik Indonesia 17 Agustus 1945 waktu itu didirikan. Yakni: agar seluruh nasion Indonesia maupun setiap dan semua pribadi warga negaranya dapat memerdekakan diri secara tuntas sejati dari yang oleh para Proklamator, RI Soekarno dan Mohammad Hatta, dieksplisitkan sebagai exploitation de'lhomme par Vhomme oleh kaum asing maupun pribumi kaya-kuasa-tega terhadap kaum dina-lemah-miskin pada segala dimensi kehidupan.
Membahagiakan sekali, motivasi dasar asli para Pendiri RI kita itu sangat sejajar dengan amanat Pimpinan Gereja bagi kita di Asia tentang our preferential option for the poor. Semoga kini dua amanat itu menjelma konkret dalam perjuangan politik umat kita.



Lima Komponen Orde Baru

Ada lima komponen pokok budaya negatif Orde Baru, yakni:

  1. Feodalisme pribumi dari zaman-zaman yang sudah lampau, yang membelenggu, memperdungu, dan melayukan jiwa kawula kecil menjadi hamba-hamba bermental jongos, babu, dan kuli di segala lapisan masyarakat.
    Dengan segala akibatnya, khusus dalam hal kultural yang formal non-formal informal bukan main pengaruh dan dampaknya terhadap penyelenggaraan negara dan masyarakat.

  2. Peniruan sistem dan struktur ekonomi eksploitasi Hindia Belanda yang lewat sistem kapitalisme tetapi campur feodalisme pribumi menyedot seluruh kekayaan daerah Nusantara ke pusat Factorij Batavia secara sentralistik.
    Itu demi akumulasi kekayaan suatu lapisan tipis tetapi kelewat kaya dan kuasa di Pusat (Jakarta, Jawa, kota-kota, dunia industri, bisnis, ekonomi global) dengan men­tal lebih keji-tega-tak tahu malu daripada kaum koloni-al asing dulu atau neokolonial global sekarang. Yang akhirnya pasti akan merupakan tumpukan lahar kebencian dan ledakan vulkanik amuk primitif, primordial, dan separatisme akibat ekses-ekses sentralisme ketat dan kejam. Dan yang akan berakselerasi menyeret bangsa kita ke tragedi macam Yugoslavia atau anarki masal.

  3. Imitasi fasisme serba paksaan dan kekerasan keji yang diwarisi dari sistem model pemerintahan dwi-fungsi-militer serta rekayasa sosial. Bala tentara Pen-dudukjepang Raya. Dengan segala metode siksaan fisik dan teror mental oleh pihak penguasa atas nama negara, yang menyebarkan kabut ketakutan di seluruh kalangan masyarakat, baik di kalangan atas, cerdik-pandai bahkan ulama maupun intelektual, dan terutama di kalangan massa rakyat bawah dina lemah miskin.

  4. Masih ditambah dampak sosial-budaya berupa pemaksaan fisik maupun psikologis manipulatif oleh berbagai visible and invisible of transnational super~powers yang beroperasi di Indonesia. Yang berperangai neo-kolonial, neoimperial dalam dimensi-dimensi politik, ekonomi, sosial, dan budaya global lewat terutama teknokrasi big-industry, big-business dan dunia persekolahan (sebagai komprador, kaki tangan) yang amat kompleks apalagi amat rahasia mekanismenya dalam sistem kapitalisme-semu dan kapitalisme-keluarga dan konco.
    Sehingga masyarakat umum semakin sulit mendeteksi, mana yang menguntungkan bangsa dan mana yang sebetulnya hanya penghisapan kaum buruh, petani, pegawai kecil, dan pedagang serta produsen kecil, ditambah segala bentuk penyedotan dan pengurasan sumber-sumber daya alam maupun manusia-manusia cerdas (braindrain) secara besar-besaran ke pusat, yang munafik mengatas-namakan pembangunan nasional.

  5. Adat kebiasaan atau kebudayaan negatif gelap yang sudah ratusan mungkin ribuan tahun mendominasi seluruh kehidupan politik, ekonomi, sosial kultural, yang sudah umum tradisional di Asia, khususnya di arkipel Nusantara, yakni variabel organisasi-organisasi hitam di bawah tanah maupun terang-terangan dalam ke­biasaan hukum-rimba-tropika jagoan/benggol/gentho/kecu/'ninja' darat maupun perompak, bajak laut, dsb.; jadi, fasisme yang berkolusi dengan banditisme.


Oleh arena itu, Republik Indonesia abad ke-21 harus distruktur ulang secara sistematis bertahap, sampai sungguh-sungguh merdeka dari 5 komponen pokok budaya negatif Orde Baru tersebut, baik yang datang dari pihak asing maupun pribumi, agar kembali ke motivasi asli mengapa Republik Indonesia diproklamasikan.



Panggilan Pokok Umat Beriman di Hari-Kini dan Mendatang
Jika hal-hal di atas sudah kita pahami betul, maka teranglah tidak mudah namun tidak mustahil kita membuat suatu agenda reformasi sikap maupun karya bagi manusia Indonesia yang beriman.



  1. Mempersiapkan secara sistematik suatu STRUKTUR MAKRO tata negara dan tata masyarakat bagi suatu nasion dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, yang mendorong sekaligus menjamin perlindungan manusia-manusia, kelompok ataupun lapisan ma­syarakat yang dina, lemah, miskin dan mengangkatnya ke suatu tingkat harkat martabat kemanusiaan yang wajar untuk zaman sekarang.

  2. Struktur makro yang dimaksud menjelajahi bidang-bidang politik, eko nomi, sosial, dan budaya. 2. Struktur makro itu, antara lain UUD 1945 yang harus dilengkapi dan disempurnakan (pesan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, di muka KNIP), sehingga:
    a. efektif melindungi hak-hak asasi maupun membagi hak-hak dan kewajiban-kewajiban semua dan setiap warga negara lewat suatu sistem Negara Hukum dengan perangkat Hukum yang adil dan manusiawi;
    b. adil dan manusiawi, artinya semakin dina, lemah, dan miskin, semakin warga negara mendapat prioritas perlindungan dan dukungan;
    c. itu semua di 4 bidang kehidupan, yaitu politik, ekonomi, sosial, dan budaya;
    d. jadi, menata mekanisme:
    • partisipasi realpengambilan keputusan-keputus-an politik, ekonomi, sosial dan budaya secara bijaksana,
    • dengan keseimbangan antara wewenang dan kewajiban pusat serta wewenang dan ke-wajiban daerah-daerah secara saling subsidier,
    • dengan keseimbangan antara kekuasaan-kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; serta bentuk-bentuk kekuasaan lain yang dibawa oleh modernisasi dan globalisasi negeri kita (LSM, multinational corporations, the powerful rich, dsb.),
    • lewat sentralisasi maupun desentralisasi yang cerdas pada tempatnya,
    • begitu juga harus dijamin keseimbangan an­tara kekuasaan legistatif, eksekutif, yudikatif, dan badan-badan tinggi negara lain yang penting, yang dibawa oleh perkembangan zaman,
    • sehingga terjaminlah dinamika kemajuan ke dalam maupun keluar yang optimal, dalam relasi yang benar dengan komunitas global;
    e. dengan jaminan desentralisasi efektif dan sempurna bagi pengembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya daerah, sampai pada tingkat desa/dusun.

  3. Khususnya struktur makro bidang ekonomi harus ditata sedemikian rupa, agar:
    a. dinamika ekonomi dapat berjalan wajar dan pesat berdasarkan penghargaan prestasi real (meritocracy);
    b. akan tetapi, tidak boleh mengorbankan mereka yang dina, lemah, dan miskin dalam hal mo­dal, kepandaian, kemahiran, posisi, kedudukan, informasi, serta fasilitas-fasilitas publik, dsb.;
    c. jadi, harus memanfaatkan segala yang positif dari sistem pasaran bebas, tetapi dirambu-rambui dan diimbangi oleh segala yang positif dari sistem sosialisme, yang dilaksanakan secara dinamis, menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi real, sehingga tercapailah suatu resultante yang optimal.

  4. Sistem sosial harus ditingkatkan:
    a. sehingga manusia Indonesia tidak ditenggelamkan dan dicekik oleh kolektivisme tua sentralisme kekuasaan, sampai kehilangan daya-daya pemekaran serta kreauvitas pribadinya;
    b. namun dari pihak lain, jangan didorong ke arah individualisme kompetisi liberal darwinistik, apalagi kriminal, yang hanya memenangkan si kuat, kuasa, dan kaya. Dalam bidang budaya:
    a. dunia pengajaran dan pendidikan harus ditempatkan pada prioritas pertama, melebihi yang Iain-lain, sehingga amanat Mukadimah UUD '45 untuk mencerdaskan seluruh kehidupan bangsa menjadi kenyataan yang real;
    b. selain itu harus disadari sungguh-sungguh, bahwa tanpa kecerdasan mustahillah demokrasi sejati berproses sehat menuju tata negara dan tata masyarakat Indonesia yang adil dan mampu menjawab tantangan-tantangan lokal maupun global;
    c. pengajaran dan pendidikan harus menempuh jalan-jalan baru yang meningkatkan daya eksplorasi, kreativitas, dan integral, artinya memben-tuk manusia Indonesia yang seutuh mungkin, berkarakter dan berkepribadian, yang berwawasan serta berstrategi hidup multidimensional, kaya solusi alternatif.
    Khususnya mengenai kehidupan batiniah:
    a. pembinaan dan komunikasi atau interaksi IMAN-lah yang harus diprioritaskan, dengan tetap menghargai AGAMA pada posisinya yang wajar dan benar;
    b. sikap-sikap inklusivis harus lebih dikembangkan, dan eksklusivisme agama ditempatkan pada kedudukannya yang wajar dan alamiah selaku jalan dan sarana, bukan sebagai tujuan;
    c. tujuannya ialah pemuliaan Allah Yang Maha-besar lagi Maha Pengasih yang dilaksanakan sejalan dengan penciptaan suatu dunia penuh persaudaraan dan kasih antara semua pribadi manusia, beragam komunitas maupun umat agama. Khususnya terhadap mereka yang dina, lemah, dan miskin baik jasmani maupun rohani;
    d. untuk itu, perlu dimufakati suatu kode etik atau kesepakatan sopan santun dalam hal penjabaran ekspresi dan gerak keagamaan. Agar ter-bangunlah rasa saling solider, saling menghargai, dan saling memekarkan, terutama dalam abad ke-21 yang semakin egois, keras, kejam, materialistis, dan hedonis, di mana sikap religius semakin digerogoti:
    • maka, semua umat dari semua agama harus bersatu menghadapi kekafiran modem dan pasca-modern yang dibawa oleh sikap yang terlalu mendewakan materi, kenikmatan nafsu, dan egoisme,
    • demikianlah agama yang memang dari kodratnya eksklusif memancarkan cahaya semangat inklusif yang membina persaudaraan dan kedamaian hati, seperti setiap perorangan pun dari kodratnya eksklusif tetap wajib punya rasa sosial yang inklusif.
    7a. Dalam hal-hal MIKRO, politik umat beriman sebaiknya selalu konsekuen dan konsisten dengan sikapnya dalam hal struktur makro yang selalu mengutamakan para dina-lemah-miskin dan yang paling dina-lemah-miskin. Baik sebagai kolektivitas umat maupun sebagai perorangan pribadi. Tentulah seimbang dan arif mengingat kewajiban terhadap keluarga sendiri.
    b. Khusus mengenai masalah portal, pada prinsipnya dan jauh lebih bijaksana apabila partai jangan didasarkan pada agama atau etnik, karena lagi dan lagi itu akan memupuk eksklusivisme. Sebaiknya, berdasarkan prinsip dan program. Jadi, partai yang terbuka dan tidak memandang agama atau etnik para anggotanya, tetapi kualitas dan dukungan prinsip serta program perihal kenegaraan dan kemasyarakatan.
    c. Prinsip tidak sama dengan ideologi, walaupun sering berbaur. Prinsip berusaha bersandar pada alasan yang oleh sila ke-2 disebut Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.Jadi, menjunjung nilai-nilai uni­versal. Sedangkan ideologi umumnya bersandar pada salah satu atau beberapa aspek saja dari kebenaran universal: semacam cuilan kebenaran, cuilan keadilan, dsb. Ideologi direka demi kepentingan dan menangnya suatu kelompok atau golongan, tidak demi kesejahteraan semua warga negara.
    Tentulah batas prinsip dan ideologi dalam praksis politik sering kabur ataupun sengaja dipaksa-paksakan. Akan tetapi, semakin kita dewasa dan bekerja rasional (tanpa menghilangkan segi afeksi), kita akan lebih me-mentingkan prinsip-prinsip universal (kendati diterapkan menurut situasi kondisi lokal atau partikular) daripada cuilan-cuilan kebenaran yang hanya sempit ingin memenangkan suatu golongan atau kelompok saja. Politikus mengarang ideologi, negarawan berpedoman prinsip.
    Yang Menyangkut Dunia Religius, Agama dan Iman/Takwa
    Dalam GBHN-GBHN yang terdahulu disebutkan bahwa salah satu ciri Manusia Indoneisa Seutuhnya ialah ber-IMAN dan ber-TAKWA. Ini sangat sangat sangat tepat. BUKAN: yang ber-AGAMA. Deklarasi tersebut harus kita pertahankan mati-matian dan kita kembangkan, karena benar.
    Orang beragama belum tentu beriman apalagi bertakwa. Orang tidak beragama bisa saja beriman. Yang ideal manusia yang beragama sekaligus beriman dan bertakwa. Akan tetapi, itu merupakan perjuangan sepanjang seluruh hidupnya. Yang celaka ialah mereka yang tidak beragama dan juga tidak beriman. Namun kita percaya, orang semacam ini sedikit sekali, karena tidaklah mungkin jumlah hamba Tuhan lebih banyak yang jahat daripada yang baik atau cukup baik.
    Oleh karena itu, juga dalam perjuangan politik kini dan mendatang, yang kita perjuangkan ialah kadar dan kualitas iman serta ketakwaan warga-warga kita. Di mana ada iman, di situ ada keadilan, ada perikemanusiaan, ada kebudayaan dan keadaban yang sejati, ada perdamaian, saling solider dan tolong-menolong, saling memekarkan. Akan tetapi, jika agama bergebyar ber-gelora tanpa sikap dan karya iman yang tulus dan jujur dari dalam batin, maka kita hanya memetik buah-buah kelaliman ("zaman edan") seperti yang setiap hari kita alami selama Orde Baru.
    • Agama selalu eksklusif dan memang harus eksklusif.
    • Iman dan ketakwaan selalu inklusif merangkul se-sama manusia, entah dari agama apa dan mana pun.
Sikap dan karya yang inklusif inilah yang di Orde Baru tergolong langka, walaupun dalam hal keagamaan dapat disebut inflasi.
Oleh karena itu, dalam Orde pasca-Soeharto hal-hal yang pertama dan terutama harus kita usahakan ialah:

  1. Memilahkan (tidak memisahkan) antara matra ber-AGAMA, dan matra ber-IMAN TAKWA.

  2. Yang diprioritaskan ialah pengembangan dan pemekaran IMAN DAN TAKWA, yang membuahkan sikap-sikap kemanusiaan yang adil dan beradab, atau dengan kata lain berbudi pekerti Maka, agama tetap penting, tetapi sekunder hanya sebagai jalan atau sarana agar iman manusia lebih lengkap. Bukan tujuan. Tujuan ialah Allah yang Mahabesar lagi Maha Pengasih yang kita hayati dalam iman dan ketakwaan, entah lewat agama apa dan mana pun.
    Maka, iman (dimensi vertikal + horizontal) dan budi pekerti (dimensi horizontal saja) inilah yang harus menyerambahi bumi dan lautan Indonesia, yang harus menggenangi setiap jiwa dan hati manusia Indonesia. Yang bersikap inklusif, yang saling merangkul, yang saling memekarkan. Menjauh dari praktek-praktek Or­de Baru yang hanya mendewakan pentasan lahiriah semua belaka, yang berpura-pura di balik topeng agama, tetapi ternyata hanya memperalat agama untuk praktek-praktek KKN, kekerasan, kekejaman, penggusuran, pengusiran, pengucilan, perampasan, pemerkosaan, orde yang berpropaganda kesatuan dan persatu-an, tetapi praktek-praktek teror dan rekayasanya me-nyebar, sehingga ketakutan merajalela; akhirnya memecah belah dengan alat-alat eksklusifme dalam segala hal kenegaraan dan kemasyarakatan. Khususnya dalam wilayah keagaman.

  3. Dalam Orde Baru, orang dianjurkan bahkan di giring untuk ber-AGAMA, tetapi IMAN bangsa kita dirusak, dikorup oleh segala gebyar materialisme dan individualisme, oleh kekuasaan dan uang, dengan mengabaikan segala yang diatur oleh hukum yang sehat, tetapi justru mengembalikan lagi hukum rimba yang feodal dan keganasan eksklusivisme primitif primordial.

  4. Selama Orde Soeharto, umat Katolik seumumnya serta para pemimpin-pemimpinnya, menjalani politik yang dapat dimengerti tetapi keliru, yakni mental anti Islam. Bahwa sesudah musuh besar Komunis di-hantukan, tinggal musuh lama, dunia Islam yang perlu dikendalikan. Untuk itu, harus dibuat kolaborasi se-erat-eratnya dengan pemerintah Soeharto dengan ABRI Orde Baru, karena umat Nasrani di Indonesia hanya minoritas. Konon itu semua pro Ecclesia et Patria. Jadi, suatu akal-akalan; membela Yesus Kristus dengan pertolongan Pontius Pilatus dan Herodes. Eksplisit, implisit, dan kebanyakan oportunistis serta naif. Sebenarnya, itu semua suatu strategi berdasarkan atas ketakut-an, tetapi didorong oleh kesombongan kompleks su­perior juga. Chatolic survive, Islam surrender.
    Jelas itu frontal melawan Dekrit Konsili Vatikan II, jelasnya Nostra Aetate Bab III, yang menghendaki perjuangan dengan umat Islam dalam 4 hal yang amat penting: (1) kemanusiaan, (2) kemerdekaan manusia, (3) keadilan sosial, (4) nilai-nilai moral, (5) saling penghargaan tentang agama dan keyakinan religius. Menjadi ekor dari suatu ordo kenegaraan yang fasis, kejam dan menindas sebagian terbesar bangsa, teristimewa yang dina lemah miskin.
    Sikap fundamental Katolik itu lain sekali daripada sikap para negarawan Nasrani kita di zaman Revolusi dan Orde Lama, yang berprinsip gescheiden somen gaan dengan umatberagama lain. Harfiah: pisah tetapijalan bersama. Substansial: Bhineka Tunggal lka

  5. Tidak pernah strategi berdasarkan ketakutan, apalagi melawan kehendak Pimpinan Tertinggi Gereja Kudus, benar dan berbuah. Berdasarkan pengalaman yang pahit itu, kita sekarang harus berani mulai menginjak jalan yang tidak berdasarkan ketakutan, tetapi jalan yang benar. Dan dalam bidang politik di Indo­nesia, itu berarti: ber-Pancasila secara benar. Memang sebagian terbesar kaum Muslimin, tetapi kaum Nasrani juga masih mengandung sisa-sisa mental kolonial im­perial zaman larhpau, dengan AGAMA sebagai panji eksklusivisme yang sering dijunjung melebihi Tuhan Yang Maha inklusif. Lupa, bahwa dalam hubungan kita dengan Tuhan masih ada dimensi yang maha penting, yakni IMAN dan TAKWA.
    Tentulah dalam praksis politik real sehari-hari kita tidak boleh naif. Badan politik bukan lembaga sosial dan kasih sayang biara. Dalam banyak perkara, berlaku IN DUBIIS LIBERTAS tetapi IN PRINCIPIIS dalam prinsip sikap dasar kita terhadap kaum beragama lain, kita harus berpegang teguh pada Dekrit kaum beraga­ma lain, kita harus berpegang teguh pada Dekrit Nostra Aetote Konsili Vatikan II. Maka, berbahagialah kita bah­wa GBHN menunjuk ciri ber-IMAN dan ber-TAKWA sebagai salah satu ciri Manusia Indonesia Seutuhnya bukan ber-AGAMA, sangat sejajar dengan pendapat para Bapa Konsili kita.

  6. Semua umat beragama sekarang masih mengidap penyakit lama, penyakit kanak-kanak. Kita harus merintis suatu pendewasaan politik dalam segala hal yang menyangkut agama, iman, religiositas, dsb. Selain itu, secara prinsip, dilihat dari Kabar Gembira yang esensial inklusif, yang punya nilai praktis pula dalam dunia perhitungan politik nasional. Jika kita ingin tetap TUNGGAL sebagai nasion dan negara, maka segala yang bersifat eksklusif (agama) dikurangi atau paling sedikit direlatifkan, sedangkan yang bersifat inklusif (iman, takwa, setiakawan, persaudaran, dst.) diprioritaskan. Dalam semangat yang konsekuen dan konsisten: Bhinneka Tunggal Ika.

Hal Pengajaran dan Pendidikan

  1. Knowledge is power, demikianlah sudah tiga ratus tahun lebih kita diingatkan oleh perintis Pencerahan dan Sains, Sir Francis Bacon. Demikianlah segala hal yang menyangkut pengetahuan, informasi, persekolahan, dan pengajaran serta pendidikan seumumnya adalah masalah besar dalam percaturan politik.
    Maka, masyarakat politik harus sungguh sadar akan hal ini, jangan seperti di masa lampau, dunia persekolahan kita hanya mengekor bahkan terlalu sering mencari muka dan ingin menjadi juara dalam suatu sistem persekolahan yang sangat melawan kemanusiaan yang adil dan beradab, dan pada hakikatnya anti Kristiani; Darwinistik dan mencekik daya eksplorasi, kreativitas, dan padanan integral anak-anak didik. Dari TK sampai perguruan tinggi. Perkecualian pasti ada, tetapi perkecualian selalu sedikit sekali.

  2. Khususnya dalam zaman modern apalagi globalisasi seluruh bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya terutama dalam masalah knowledge, pihak-pihak vested-interest para penguasa dunia ingin menerkamnya, demi kepentingan mereka. Padahal bagi kita, pengajaran dan pendidikan pertama dan terutama harus mengabdi kepada sang anak. Sang anaklah yang harus menjadi tujuan sentral kita, bukan hanya dijadikan objek ataupun calon "sumber daya" seperti alat dinamo, aki atau generator, mesin disel, dsb.
    Di sinilah dalam era pasca-Soeharto, politik kristiani menjumpai medan perjuangan yang amat berat tetapi mulia. Bagaimana sang anak didik kembali men­jadi subjek, tujuan dan bukan objek, alat atau kader mini demi vested-interest para penguasa, baik penguasa politik, ekonomi/bisnis industri, dsb., maupun sosial, diktator kolektivisme masyarakat kuno, serta diktator budaya modern yang egoistis hedonistis, dengan kedok kompetisi pasaran bebas bahkan demokrasi, hak-hak asasi, dsb., yang hakikatnya benar, tetapi lalu diideolo-gikan secara parsial dan manipulatif.

  3. Maka pertanyaan bagaimanakah si murid dan mahasiswa memperoleh pengajaran dan pendidikan yang (sekali lagi) berprinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam tafsirannya yang benar sejati; sehingga mendapat pembinaan dan pendampingan, seperti yang diharapkan oleh para ahli psikologi pen­didikan yang terbesar di abad yang sedang lampau ini: NOT HAVING BUT BEING. Dalam segala dimensi kehidupan; dari yang paling biasa seperti materi sampai dengan tingkat-tingkat budi hati dan religiositas. Bukan memiliki (barang, agama, Tuhan), melainkan jadi dan menjadi (manusia satu roh dengan Tuhan).

  4. Politik pengajaran dan pendidikan dalam abad ke-21 semakin memerlukan perhatian dan perjuangan yang amat istimewa dari kita. Demi anak-anak kita sendiri dan Generasi Muda yang akan menangani negeri, nasion, dan negara kita. Dalam Orde Soeharto, ekonomilah yang dijadikan raja pembangunan. Kita lihat bagaimana buah-buahnya.

  5. Sangat terkait dengan hal di atas ialah pendidikan KEPRIBADIAN dan KARAKTER, budi pekerti dan perangai, sifat dasar kecenderungan dasar, selera dasar. Yang banyak mengarah horizontal kepada sesama manusia. Dalam situasi kondisi darwinistik tata dunia yang masih lama kapitalistik, egoistik, serakah, dan hedonistis di zaman mendatang, pembentukan kepribadian dan karakter yang tegak teguh berani melawan arus yang begitu besar, kuat tetapi banyak jahatnya, (relatif) jauh lebih penting daripada pendidikan yang selama ini terlalu memenangkan kolektivitas sampai dengan mental anut-grubyug (asal ikut-ikutan dengan arus besar saja) dan "serba taat kepada petunjuk".

  6. Namun, masyarakat Kristiani sendiri harus konsekuen memberi teladan dan perintisan. Yayasan-yayasan pengajaran dan pendidikan kita harus diajak, dipersuasi, bahkan kadang-kadang dipaksa untuk meninggalkan praktek-praktek masa lampau yang menjerumuskan dan memperbodoh anak. Memang dalam Orde Baru, murid dilatih, diinstruksikan, dikomando, diadministrasi, dipawang menjadi orang-orang yang teknis terampil (highly skilled) tetapi menyedihkan, dalam arti merekayasa menjadi robot-robot yang teknis amat terampil saja. Sekarang dan di hari depan, siasat salah itu harus diubah dan ditransformasikan menjadi ke-bijaksanaan yang lebih manusiawi, adil dan beradab.

  7. Itulah antara lain, agenda dan program yang memang raksasa beratnya namun mulia dari kaum politik Kristiani untuk hari mendatang, yakni memperjuangkan bujet negara untuk pendidikan (utuh, formal, dan non-formal maupun informal) yang longgar leluasa, di samping transformasi strategi dan metodologi, pedagogi, dan didaktik yang lebih mengindahkan amanat Mukadimah UUD 1945; mencerdaskan seluruh kehidupan bangsa. Jadi, tidak hanya di dalam dan lewat sekolah saja dan mendampinginya menjadi manusia seutuhnya. [*]
disampaikan dalam sarasehan


“Keterlibatan Umat Katolik dalam Kehidupan Sosial”



di Jakarta tanggal 12-15 Agustus 1998



yang melahirkan Deklarasi F.M.K.I. pada tanggal 15 Agustus 1998.

01 Februari, 2009

Data Caleg Katolik Pemilu 2009 Dapil KAS

  1. Franciscus Xaverius Soekarno, SH
    Paroki Maria Kusuma Karel Meruya Jakarta Barat
    Demokrat Jateng IV
  2. Maria Athanasia Ratna Ariani
    Paroki St. Perawan Maria Ratu (blok Q) Dekanat Jakarta Selatan
    ratna_ariani@yahoo.com
    Hanura Jateng I
  3. Maria Meiarti Restu Hapsari
    Paroki Kramat Jakarta Pusat
    mmrestu@gmail.com
    PDIP Jateng VI
  4. Maria Veronica Indoen Hapsari
    Paroki St. Mikael Jakarta
    PDK
  5. Yosef Ari Wibowo, Drs.
    Paroki St. Fransiskus Asisi Tebet
    yos_2203@yahoo.com
    PDS Jateng I

Data Caleg Katolik Pemilu 2009 Kevikepan DIY

  1. Agustina Sumaryanti
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta III (kota)
  2. Albertus Gutama Putra, SH
    Santa Maria Bunda Penasihat Baik Wates DIY
    PDIP Yogyakarta IV
  3. Aloysius Suryadi
    Petrus Paulus Klepu Yogyakarta
    PKDI Sleman VI
  4. Antonius Kardiyat Wiharyanto, Drs. MM.
    St.Maria Asumpta Pakem
    Golkar Sleman(prop)
  5. Caecilia Catarina Widiyati, Dra.
    Baciro Yogyakarta
    wuri210901@yahoo.com
    PKDI Yogyakarta V (Kota)
  6. Chatarina Etty Sulistya
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta I (Prop)
  7. Chatarina Kusdartini, S. Sos
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Sleman IV
  8. Cicilia Endang Retnowati
    Petrus Paulus Klepu Yogyakarta
    PKDI Sleman V
  9. Daniel Supriyanta, Ir.
    Kemetiran Yogyakarta
    www.bwnitoanie@yahoo.com
    PDIP Yogyakarta III
  10. Felix Sukardi
    St.Maria Asumpta Pakem
    PPRN Sleman (Prop)
  11. Firmina Endang Sulistyaningsih
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta V (Prop)
  12. Florentina Diani Anindiati
    Baciro Yogyakarta
    anin_political@yahoo.com
    PDIP Yogyakarta I (Prop)
  13. Franciscus Xaverius Soepandi
    Marganingsih Kalasan Sleman
    PKDI Sleman I
  14. Fransisca Romana Sirwantini
    Bintaran Yogyakarta
    Golkar DIY II (Prop)
  15. Fransiscus Asisi Suwardi, SH
    Kalasan Yogyakarta
    PKDI Sleman II
  16. Fransiscus Asisi Warsono, SE
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta V (Prop)
  17. Ign. P. Supardjiman
    St. Yusuf Bandung DIY
    PKDI Bantul I
  18. Ignasia Prabastuti Kodiatun
    Bintaran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta III (Prop)
  19. Ignatius Soenarto
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta IV (Prop)
  20. Jacobus Joseph Lelyemin, Ir. MT
    Kumetiran Yogyakarta
    PKDI Bantul I
  21. Johanes Serang Keban, Drs.
    Bintaran Yogyakarta
    Golkar DIY III(prop)
  22. Leonardus Agus Rujito Nugroho, Ir.
    St.Maria Asumpta Pakem
    PDIP Sleman IV
  23. Libertus Didik Prayitno
    Kota Baru Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta IV (Kota)
  24. Margaretha Sita Nawatiningsih
    Marganingsih Kalasan Sleman
    PKDI Sleman III
  25. Maria Christina Tri Erlien Rahayu
    St. Albertus Agung Jetias Yogyakarta
    Golkar Yogyakarta III
  26. Maria Goretti Titin Sumarni
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Bantul II
  27. Maria Magdalena Ngadilah
    Petrus Paulus Klepu Yogyakarta
    PKDI Sleman VI
  28. Maria Magdalena Sri Purnomo Rahayu
    Banteng Sleman
    PKDI Yogyakarta IV (Prop)
  29. Marianus Agus Risatyawan
    Pugeran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta I (Prop)
  30. Markhus Muria Wuri Hartono, Drs.
    Baciro Yogyakarta
    wuri210901@yahoo.com
    PKDI Yogyakarta IV (Kota)
  31. Mathilda Maryati
    St. Antonius Padua - Kotabaru, Yogyakarta
    PKPI Yogyakarta IV (Kota)
  32. Patricius Harjadi, S. Sos
    Kalasan Yogyakarta
    Golkar Klaten II
  33. R. Ay. Maria Murdaningsih
    Bintaran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta II (Kota)
  34. Robertus Bambang Suwarnia, Drs.
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Sleman IV
  35. Robertus Ngadri
    Marganingsih Kalasan Sleman
    PKDI Sleman III
  36. Romanus Sugimin, SH
    St. Yusuf Bandung DIY
    PKDI Bantul II
  37. Scolastica Mustika Dyah Sahing Hastuti
    Pugeran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta I (Kota)
  38. Silvina Sri Sulistyaningtyas, Dra.
    St. Theresia Sedayu Bantul
    Golkar
  39. Stefanus Soebantijo, Ir. M. Si.
    Bintaran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta I (Kota)
  40. Tarcisia Wurjanti
    St. Petrus Paulus Kelor DIY
    PKDI Bantul III
  41. Theodorus Tjatur Nugroho, SE
    SPM Tak Bernoda Nanggulan
    PDIP Kulonprogo II
  42. Theresia Nunung Haryati, Dra.
    Kalasan Yogyakarta
    PKDI Sleman II
  43. Theresia Sadirini, Dra. M. Pd.
    Bintaran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta III (kota)
  44. Theresia Sri Wahyuni, S. Pd.
    Marganingsih Kalasan Sleman
    theresiasriwahyuni@yahoo.co.id
    PKDI Sleman I
  45. Thomas Hari Sarwoto
    Petrus Kanisius Wonosari DIY
    PKDI Bantul III
  46. Thomas Kartaga, BA
    SPM Tak Bernoda Nanggulan
    PDIP Kulonprogo I
  47. Tiburtius TriSt. Roeslan
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta II (Prop)
  48. Vensensius Suyoko
    Gamping
    PKDI Sleman V
  49. Veronica Diana Anis Anggorowati, ST. MT.
    Baciro Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta II (Prop)
  50. Wecenslaus FX Soedardi, SE
    Baciro Yogyakarta
    Golkar DIY I(Prop)
  51. Yeaned 'arc Sri Purwanti
    St.Maria Asumpta Pakem
    PDIP Sleman (Prop)
  52. Yogo Subarjo
    Pugeran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta I (Prop)
  53. Yohana Fransisca Widiyatun
    Marganingsih Kalasan Sleman
    PDIP Sleman III
  54. Yohanes Pandu Asa Nugraha
    SPM Tak Bernoda Nanggulan
    pandu_asa@yahoo.com
    PDK Nanggulan
  55. Yohanes Pembabtis Suhendro Waluyo
    Bintaran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta II (Kota)
  56. Yosef Sunu Purwo Pranoto, Drs. RM
    Bintaran Yogyakarta
    PKDI Yogyakarta III (Prop)
  57. Yoseph Bambang Dwiratno
    Wates DIY
    PDIP Kulon Progo
  58. Yostinus Agus Turimin
    Banteng Sleman
    PKDI Yogyakarta IV (Prop)
  59. Yuliana Ika Pustikarini Indrasari
    St. MAria Asumpta PAkem DIY
    pustikarini2007@yahoo.com
    PPRN Sleman (Prop)

Data Caleg Katolik Pemilu 2009 Kevikepan Kedu

  1. Agustinus Tondo
    St. Christoperus Banyutemumpang
    PDIP Magelang I
  2. Anastasia Dewi Prasetiowati
    St. Ignatius Magelang
    PDIP Magelang I
  3. Angelina Christina Esti Wuryani
    St. Ignatius Magelang
    PKPI Kota magelang
  4. Eduardus Yusuf Kusuma
    St. Ignatius Magelang
    Demokrat Magelang II
  5. Franciska Yuliarti
    St. Ignatius Magelang
    Gerindra Magelang I
  6. Fransiskus Xaferius Dimas Riyono Suksmawan Dwi Sukamto
    St. Ignatius Magelang
    PDIP Magelang II
  7. Henricus Megantara Prabowo
    St. Ignatius Magelang
    pezan_ilahi@yahoo.com
    Gerindra Magelang Selatan
  8. Herman Yosep Endi Darmawan, SH
    St. Maria Fatima Magelang
    PDIP Magelang utara
  9. Ignasius Sutarman
    St. Maria Fatima Magelang
    PDIP Magelang II
  10. Lucia Hari Sucahyowati, SE
    St. Petrus Borobudur
    PDIP Magelang I
  11. Ludgardis Bambang Susalit, S. Sos.
    St. Ignatius Magelang
    Gerindra Magelang II
  12. Margareta Sri Martuti
    Banyutemumpang
    PDIP Magelang I
  13. Maria Yosephine Hariati
    St. Ignatius Magelang
    PDIP Magelang II
  14. Natalia Immaculatta et Salvator (nies) K Armini
    Sato Yusuf Pekerja Mertoyudan
    PDIP Magelang I
  15. Paulus Sudarminto
    St. Christoperus Banyutemumpang
    PDIP Magelang II
  16. Petrus Gregorius Sapto Utomo
    St. Maria Fatima Magelang
    Partai Patriot Magelang II
  17. Petrus Noloscus Wiworo
    St. Christoperus Banyutemumpang
    Demokrat Magelang II
  18. Restituta Asri Endang Prihantik
    St. Christoperus Banyutemumpang
    PDIP Magelang II
  19. Robertus Prayogo
    St. Ignatius Magelang
    Demokrat Magelang II
  20. Stevanus Darmono
    St. Ignatius Magelang
    Golkar Kota Magelang II
  21. Yohanes Anekayanta Budi Prasetyo
    St. Maria Fatima Magelang
    Demokrat Magelang II
  22. Yohanes De Britto Suswanto
    St. Theresia Salam Magelang
    PDIP Magelang III

Data Caleg Katolik Pemilu 2009 di Kevikepan Semarang

  1. Agnes Ekawati
    St. Athanasius Agung Karangpanas Semarang SMG
    PDS Jateng I (Prop)
  2. Agus Siswanto, S. Sos
    St. Petrus Gubug SMG
    PDIP Grobogan V
  3. Agustina Wilujeng P. SS
    St. Maria Fatima BAnyumanik SMG
    PDIP Jateng IV
  4. Andreas Hijrah Airudin
    St. Athanasius Agung Karangpanas Semarang SMG
    PKDI Semarang I
  5. Benedictus Djasmani, Ir.
    Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi Grobogan SMG
    PNBKI Grobogan
  6. Bonaventura Sulistyana, SH
    St. Palus Sendangguwo Semarang SMG
    PDIP Jawa Tengah IV
  7. Chatarina Surati, Dra.
    Katedral Semarang SMG
    PDIP Semarang II
  8. Cornelius Sunandar
    St. Paulus Ambarawa SMG
    PDIP Kab Semarang III
  9. Epifana Rini Kusumawati, ST
    St. Paulus Sendangguwo Semarang SMG
    PKDI Semarang III
  10. Erick Rudi Irianto, SH
    St. Palus Sendangguwo Semarang SMG
    PDIP Semarang III
  11. Felix Sutandy MH. Kes.
    St. Athanasius Agung Karangpanas Semarang SMG
    felsandy2000@yahoo.com
    PSI Semarang V (Kota)
  12. Filipus Yoyon Taryono, SE
    St. Paulus Miki Salatiga
    Golkar Salatiga IV (kota)
  13. Fransisca Federica Handjaswari Retno Pandu, S. Sos.
    Kristus Raja Ungaran
    PDIP Kab Semarang I
  14. Fransiscus Yudawisnu. S
    St. Yusuf Gedangan Semarang
    PKDI Semarang III
  15. Gabriel Wahyu Hendarto, ST
    Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi Grobogan
    PDP Grobogan
  16. Hadrianus Kamidi, Drs.
    St. Maria Fatima Banyumanik Semarang
    PKDI Semarang V
  17. Henrica Wulandari Aprianti
    Santo Paulus Sendangguwo SMG
    PPD
  18. KRAT Endro Gijanro Roekitodiningrat, Ir. SH. MBA. MM
    Hati Kudus Tanah Mas Semarang
    PKDI Semarang II
  19. M. Agnes Punjung Vocalice. S. Psi
    St. Athanasius Agung Karangpanas Semarang
    PKDI Semarang V
  20. Marcelius Sumitro
    St. Paulus Miki Salatiga
    Golkar Salatiga IV (kota)
  21. Maria Ida Astiani, SH
    St. Yohanes Evangelista Kudus
    PDS Kudus IV
  22. Maria Sri Kartini
    St. Yohanes Evangelista Kudus
    PDS Kaliwungu Gebog
  23. MC Suwarni, BA
    St. Maria Fatima Banyumanik Semarang
    PKDI Semarang V
  24. Paulus Sudaryanto, SE
    St. Athanasius Agung Karangpanas Semarang
    PDIP Dapil IV
  25. Radityo
    St. Athanasius Agung Karangpanas Semarang
    Hanura Jateng II
  26. Rikardus Moa, ST
    St. Paulus Sendangguwo Semarang
    pkdi_smg@yahoo.com
    PKDI Jateng I
  27. Sasmito
    Kristus Raja Ungaran
    Golkar Jateng I
  28. Sawidjan, Drs.
    Jl. Kol. Sunandar No. 61 Pati
    PDIP Jateng III
  29. Sri Hartini
    St. Palus Sendangguwo Semarang
    PPD JAteng I
  30. ST. Siswantoro, BA
    St. Yusuf Ambarawa
    PDP Ind Kab Semarang II
  31. Stanislaus Sentot Danar Dono
    St. Yohanes Evangelista Kudus
    sentot170870@yahoo.co.id
    PNI Marhaenisme Kudus I
  32. Sudarsono
    St Athanasius Agung Karang Panas Semarang
    Hanura Jateng V
  33. Thomans Aquino BDS, SE
    St. Teresia Bongsari Semarang
    PKDI Semarang VI
  34. Titik Maryani
    St. Paulus Miki Salatiga
    titiek maryani@yahoo.co.id
    Hanura Jateng V
  35. Vincensiana Tini Wigahyati
    St. Yusuf Ambarawa
    Hanura Kab Semarang III
  36. Yohanes Leonardus Darmadi
    Thomas Rasul Bedono
    Gerindra III
  37. Yoris Sindu Sunarjan
    Wisma MAhasiswa Driyarkara Semarang
    PBR Jateng I (Prop)
  38. Yosefa Rene M
    Katedral Semarang
    PDP Dapil 3 DPRRI
  39. Yoseph Simon Sun Letong
    Katedral Semarang
    PKDI Semarang V
  40. Yulius Wedar Rachardianto
    Katedral Semarang
    Pakar Pangan Jateng I (Prop)
  41. Yusuf Yoyok Prihantoro, A. Md
    Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi Grobogan
    yoe_tf_grob@yahoo.co.id
    PDIP Grobogan I
  42. Yosef Ari Wibowo, Drs.
    St. Fransiskus Asisi Tebet
    yos_2203@yahoo.com
    PDS Jateng I
  43. Maria Athanasia Ratna Ariani
    St. Perawan Maria Ratu (blok Q) Dekanat Jakarta Selatan
    ratna_ariani@yahoo.com
    Hanura DPR RI Jateng I

SONGSONG PEMILU 2009 JADILAH PEMILIH CERDAS DAN BERADAB

Pemilu Urusan Kita !


Dalam Negara demokrasi dapat dipahami, bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dn bekerja untuk kepentingan rakyat.
Dalam melaksanakan pemerintahan yang demokratis, negara harus menjamin warganya untuk bisa menikmati hak-haknya sebagai warga negara dibidang sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Dengan demikian demokrasi berjalan seiring dengan pemerintahan yang jujur, efektif dan transparan yang dipilih secara bebas dan mempertanggungjawabkan pengelolaannya atas kehidupan umum masyarakat.
Salah satu unsur kunci pelaksanaan demokrasi adalah diadakannya pemilihan umum yang bebas dan adil pada setiap jangka waktu tertentu secara teratur, sehingga memungkinkan pengungkapan kehendak rakyat dan sekaligus memperbaharui kontrak sosial antara rakyat dengan penyelenggara negara, baik eksekutif maupun legislatif.


Kita perlu PEMILU !

  1. Pemilu merupakan kesempatan penting bagi rakyat Indonesia untuk menentukan orang-orang yang akan dipercaya memimpin negeri ini.
  2. Pemilu dapat juga merupakan kesempatan untuk mengganti anggota legislatif atau pemerintahan yang tidak dikehendaki. Melalui Pemilu kita dapat mengganti mereka secara damai.
  3. Pemilu merupakan media bagi rakyat untuk menyuarakan pendapat dan aspirasinya, mengubah kebijakan publik, menuntut pertanggungjawaban penyelenggara negara dan menyuarakan aspirasi lokal.
  4. Pemilu juga merupakan kesempatan untuk memperbaiki pranata sosial, seperti partai politik, lembaga legislatif dan kepresidenan agar menjadi demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat.

Kiat Menjadi Pemilih Cerdas dan Beradab !

  1. Pastikan diri anda terdaftar secara sah.
    Kenali jati diri, track record calon legislatif, calon DPD, calon presiden dan wakil presiden.
  2. Pilih orang-orang yang memiliki integritas moral yang tinggi, dapat dipercaya untuk memimpin negara dan menjalankan pemerintahan demi kesejahteraan umum, bukan untuk kepentingan diri atau golongan.
  3. Memilih dan tidak memilih adalah hak, tetapi sengan memilih kita ikut menentukan masa depan bangsa.
  4. Tolak politik kotor (jangan kompromi dengan suap dan sogok)
  5. Uji dengan kritis parpol yang memakai simbol dan sentimen primordial (etnis dan agama). Penggunaan simbol agama tidak secara otomatis mewakili nilai luhur agama.
  6. Memilih secara andiri berdasarkan hati nurani. Bukan uang tetapi suara hatilah yang menentukan pilihan kita.
  7. Hindari kekerasan dalam bentuk apapun, karena kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru